JAKARTA, Berita HUKUM - Dalam alam dan iklim demokrasi yang berjalan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kini dihadapkan pada ancaman potensi kejahatan demokrasi, yang dapat merusak iklim demokrasi di Indonesia; Money Politics atau Politik Uang menjadi momok yang menakutkan itu.
Titi Anggraini direktur Perludem mengatakan bahwa, "dalam beberapa waktu terakhir dibeberapa media, baik online, cetak dan televisi banyak dan sangat marak informasi mengenai bentuk kejahatan demokrasi ini dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah," kata Titi, saat diskusi publik bertema, "Melihat Bahaya, Ancaman, Dampak dan Antisipasi Money Politics di Era Tempat Waktu Demokrasi Langsung," yang digelar oleh Jaringan Pemuda Peduli Demokrasi (JPPD) di Bakoel Kopi, Cikini. Jakarta, Senin (30/7).
Adapun, diskusi publik ini menghadirkan beberapa pemateri yang menguasai permasalahan, seperti; Dr. Bayu Dwi Anggono dari Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember dan Titi Anggraini sebagai direktur Perludem.
Titi Anggraini menilai, hal ini tentu perlu mendapat perhatian khusus dari tiap-tiap individu dan entitas di NKRI, kita perlu mengupas dan melihat lebih dalam ancaman ini. Karena bentuk kejahatan demokrasi ini akan sangat berdampak kepada pembangunan negara bangsa kedepan.
"Penyelenggara Pemilu faktanya masih mengalami permasalahan-permasalahan, mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan sedemikian itu, karenanya penting memberikan pandangan dan masukan perbaikan iklim demokrasi kedepan. Regulasi dan kebijakan yang telah ada dirasa belum cukup untuk mengatasi persoalan ini. Sehingga, seluruh komponen masyarakat perlu memberikan solusi yang solutif dalam mengatasi persoalan ini," jelas Titi.
Pemilihan langsung dalam setiap event pesta demokrasi bertujuan untuk melibatkan peran serta masyarakat (baca: Rakyat) dalam menentukan sendiri siapa yang layak dan pantas menjadi pemenang.
Bahwasanya, menurut direktur Perludem itu menjelaskan bahwa, pemimpinnya dan atau wakilnya dalam pemerintahan dan legislatif. Namun, pola-pola kejahatan demokrasi yang dimanivestasikan dalam berbagai bentuk tidak dapat ditolak oleh masyarakat, sehingga ancaman ini menjadi semakin nyata dan menakutkan.
Titi menyarankan agar paradigmanya harus diubah, tidak boleh ada toleransi terhadap politik uang meskipun hanya satu kasus.
"Jika ada satu kasus pun yang melibatkan calon dan terbukti dimata hukum, maka ia harus didiskualifikasi, ia harus dibatalkan. Jadi kalau kita memandang bahwa politik uang adalah kejahatan luar biasa maka itu harus dimulai dari sana," ungkap Titi.
Titi juga menegaskan bahwa, "ketentuan 50 persen plus satu untuk menjerat pelaku politik uang sebagai kategori terstruktur sistematis dan masif (TSM) harus dievaluasi. Sebab, aturan itu dapat menjadi celah para politisi melakukan politik uang," cetus Titi.
Penyelenggara negara memang telah membuka ruang-ruang untuk menjadi media dalam upaya menyelesaikan persoalan ini. Namun, pada kenyataannya masih banyak persoalan politik uang ini yang dianggap belum mampu terselesaikan secara utuh, hal ini tentu perlu mendapat kajian- kajian yang lebih dalam guna perbaikan demokrasi kedepan.
Selanjutnya, Dr. Bayu Dwi Anggono dari Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember mengatakan, meskipun adanya lembaga-lembaga yang dibentuk seperti GAKUMDU, BAWASLU, DKPP dan MK serta lain sebagainya, dalam praktiknya masih dirasa belum dapat menyelesaikan persoalan-persoalan terkait perbuatan money politik.
"Sehingga perlu penguatan dan perluasan kewenangan yang lebih luas, sehingga dapat mencegah dan atau menyelesaikan persoalan untuk mencapai cita-cita demokrasi dan cita-cita hukum yang diharapkan," papar Bayu Dwi.
Jaringan Pemuda Peduli Demokrasi (UPPD) berharap kedepan dapat memberikan gambaran dan pandangan dari para tokoh-tokoh dan kaum intelektual di negara bangsa ini, agar dapat bersama-sama memikirkan upaya menyelesaikan ancaman kejahatan demokrasi ini.
"Politik uang berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, selain menghasilkan pemimpin dengan kualitas rendah, money politics juga melemahkan politisi institusi demokrasi sendiri," ujarnya.
"Di antara dampak terburuk dari praktik ini adalah politisi yang terpilih nantinya tidak lagi punya kualitas," kata ahli Perundang-undangan tersebut menambahkan.
Politik uang dalam kontestasi Pemilu di Indonesia sudah sangat luar biasa. Setidaknya, kata dia, ada lima model politik uang yang harus diantisipasi :
Pertama, transaksi antara elite pemilik modal dengan pasangan calon.
Kedua, transaksi pasangan calon terhadap partai politik.
Ketiga, transaksi pasangan calon terhadap penyelenggara-penyelenggara pemilu.
Menurutnya, hal ini di antaranya ditandai dengan banyaknya penyelenggara Pemilu yang dipecat oleh DKPP. "Motif bermacam-macam, mulai dari yang mengubah hasil suara, diskualifikasi agar menjadi calon tunggal, atau tidak merespons banyak pelanggaran atau kasus semisal money politics," ujarnya.
Kemudian, Keempat, transaksi pasangan calon dengan pemilih, dan Kelima, transaksi oknum kepala daerah dengan hakim konstitusi.(bh/mnd) |