JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan hari ini genap setahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Atau, jika digabungkan dengan periode pertama, hari ini adalah genap enam tahun Indonesia berada di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo.
"Kalau diminta menilai perjalanan setahun terakhir, apalagi enam tahun terakhir, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, cukup jelas saya melihat ada banyak sekali kemunduran yang telah kita alami. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, rakyat dan negara sama-sama memikul beban yang kian berat," kritik Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Selasa.
Setidaknya Fadli mencatat, ada empat beban berat yang bobotnya kian besar selama pemerintahan Presiden Joko Widodo berlangsung.
Pertama, adalah beban utang. Akibat miskalkulasi, mismanajemen, serta kerja-kerja pembangunan tuna konsep, Indonesia kini harus menanggung beban utang yang sangat berat. Mengutip laporan Bank Dunia, "International Debt Statistics 2021", utang luar negeri Indonesia saat ini menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara-negara berpendapatan menengah dan rendah. "Saat ini, utang luar negeri kita lebih dari US$402 miliar, jauh lebih besar dibandingkan utang Argentina, Afrika Selatan, ataupun Thailand," ujarnya.
Selain utang luar negeri, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar US$4,3 miliar dengan tenor 30 tahun. Artinya, utang ini akan jatuh tempo pada tahun 2050. "Jadi, jangankan mengurangi beban rakyat dan negara, pemerintahan saat ini justru sedang melarikan sebagian persoalan menjadi beban bagi anak cucu kita nanti. Warisan gunungan utang."
Bayangkan, dengan total utang pemerintah yang mencapai Rp5.594,9 triliun per Agustus lalu, setiap orang Indonesia saat ini menanggung utang negara sebesar Rp20,5 juta. Sejarah kelak mencatat, anak cucu menerima 'legacy' utang!
Kedua, adalah beban hukum. Kerusakan tatanan hukum di era pemerintahan sekarang ini sangat kasat mata. Dulu, di periode pertama, rakyat pernah disuguhi 16 paket kebijakan hukum dan ekonomi. Kini, di tahun pertama periode kedua, disuguhi omnibus law Cipta Kerja, satu undang-undang sapujagat yang langsung memangkas 79 undang-undang lainnya di berbagai sektor yang berlainan.
"Saya melihat pola penerbitan regulasi semacam itu bukanlah bentuk terobosan hukum, melainkan bentuk perusakan hukum. Sejauh yang bisa saya pelajari, omnibus law di negara lain paling banyak mengubah 10 undang-undang. Tapi, kebanyakan kurang dari itu. Itupun, ini perlu digarisbawahi, sebagian besar proses perumusan omnibus law umumnya hanya mencakup satu isu atau bidang saja, bukan menerabas berbagai bidang secara semena-mena."
Seperti halnya 16 paket kebijakan yang pernah diluncurkan pada periode pertama lalu, misalnya telah menarik kembali sejumlah kewenangan daerah kepada pusat, maka melalui omnibus law ini kian sempurnalah sentralisasi kekuasaan yang ada di tangan Presiden. "Ya, saya tak melihat kebijakan omnibus law ini sebentuk kebijakan deregulasi. Sama sekali tidak," katanya.
Deregulasi adalah kebijakan yang dimaksudkan untuk memberi keleluasan pada mekanisme pasar. Tapi omnibus law yang kemarin disahkan, dan juga paket-paket kebijakan ekonomi yang jumlahnya tak masuk akal dulu, tidak tepat disebut deregulasi. Yang tepat adalah semua kebijakan itu adalah bentuk konsolidasi kekuasaan di tangan Presiden. Tak heran, banyak investor asing bahkan memprotes beleid baru tersebut. Sebab, undang-undang itu telah membuka banyak sekali front konflik. Sementara, investor yang sesungguhnya biasanya tak suka konflik. Mereka butuh stabilitas dan kepastian hukum.
Alih-alih menciptakan kepastian dan stabilitas, omnibus law sudah terbukti hanya akan melahirkan konflik dan instabilitas saja. Dampak kerusakannya sangat besar sekali. Bahkan sejumlah pihak menganjurkan pembangkangan sipil.
Ketiga, adalah beban perpecahan. Di periode kedua ini, pemerintah masih bermain-main dengan sejumlah isu sensitif keagamaan. Menteri Agama, misalnya, berkali-kali membuat umat Islam marah karena sejumlah ucapan dan kebijakannya. Pancasila, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, melalui draf RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) malah membuat marah banyak orang.
Seharusnya di periode kedua ini Presiden Joko Widodo belajar membangun pemerintahan yang berusaha untuk melakukan proses rekonsiliasi, bukan malah kian mempertajam segregasi.
Dan keempat, adalah beban sosial. Rakyat kini bebannya kian berat. Sebelum ada pandemi Covid-19, rakyat sudah banyak terbebani kebijakan pencabutan subsidi, kenaikan tarif listrik, BBM, tol, BPJS Kesehatan, dan lain-lain. Kini, beban rakyat bertambah karena pandemi.
Ironisnya, pemerintah terkesan menggunakan pandemi justru sebagai momen menolong para taipan dan pengusaha, bukan menolong rakyat kecil. Stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), misalnya, 24 persennya digunakan untuk menolong korporasi. Hanya 12 persen saja yang digunakan untuk belanja kesehatan. Itukan ironis.
Tak heran, menurut sejumlah survei, seperti dilakukan Litbang Kompas, misalnya, mayoritas rakyat mengaku tidak puas pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ketidakpuasan dalam bidang ekonomi dan hukum adalah yang paling besar.
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa ia tak punya beban apapun di periode kedua pemerintahannya. Sayangnya, yang merasa tak punya beban sepertinya hanyalah Presiden. Sementara, rakyat dan negara bebannya justru kian bertambah.(dbs/ham/telusur/bh/sya) |