JAKARTA, Berita HUKUM - Kucuran dana dari Penyertaan Modal Negara (PMN) bagi Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama 2 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) peroleh angka sebanyak Rp 115 triliun, meningkat cukup besar dibanding tahun sebelumnya yang hanya berkisar sebesar Rp41 triliun saja.
Seperti diketahui, kalau suntikan modal perusahaan 'pelat merah' itu menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah belanja untuk pembangunan infrastruktur, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selain berharap investasi sebesar itu harus berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, juga meminta agar Menteri BUMN memaparkan progress dari suntikan dana PMN ke BUMN terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Sah-sah saja sebagai Menkeu minta laporan terkait PMN yang sudah disuntikan ke BUMN sebanyak Rp115 trilyun itu. Tapi banyak kegagalan PMN ke BUMN disebabkan bukan dari BUMN-nya sendiri atau Kementerian BUMN," demikian ungkap Ketua Umum
Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (Ketum FSP BUMN), Arief Poyuono di Jakarta, Kamis (27/10).
Banyak kegagalan, sambung Arief yang merasa kalau penyebabnya dikarenakan kinerja Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang lambat dan buruk untuk mencari dan mengumpulkan dana yang siap dicairkan sebagai PMN, sekalipun DPR sudah menyetujuinya.
"Akibat lambatnya pencairan PMN dan tidak tepat waktu dengan proposal yang diserahkan oleh BUMN pada DPR dan Menteri Keuangan, maka itulah banyak BUMN yang mendapatkan PMN justru menjadi rugi dan tidak memberikan nilai tambah bagi BUMN. Akibat terlambat pencairan Dana PMN oleh Menteri Keuangan, maka Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) yang disusun setiap BUMN yang meminta suntikan modal jadi berantakan tidak sesuai lagi.
Begitu juga dengan PMN yang digunakan sebagai belanja asset BUMN untuk mendukung kinerja BUMN akibat lambatnya pencairan dana PMN oleh Menteri Keuangan, maka yang terjadi asset yang akan dibeli oleh BUMN harganya sudah naik, sehingga BUMN lost opportunity .
Jelas keberhasilan suntikan PMN pada BUMN itulah yang berikan dampak pertumbuhan ekonomi dan lebih banyak dipengaruhi oleh kinerja Menteri Keuangan dalam menyediakan dana untuk disuntikan pada BUMN. "Jadi. tolonglah Sri Mulyani berkaca diri apa PMN itu dicairkan sesuai waktu tidak?," tanya Arief Poyuono, seraya mengingatkan.
"Salah satu contoh misalnya, BUMN akan berencana melakukan aksi korporasi dengan membeli barang modal atau mengerjakan sebuah proyek sesuai dengan RKAP yang berisikan adanya permintaan PMN pada tahun 2017 awal, tapi akibat lambatnya pencairan walau PMN sudah disetujui oleh DPR dan Pemerintah, maka yang terjadi BUMN tersebut menjadikan jaminan suntikan dana. PMN untuk meminjam dana talangan pada bank atau institusi keuangan komersial lainnya, akhirnya BUMN tersebut harus menanggung bunga pinjaman tersebut," jelas Arief.
Sebagai tambahan, Arief Poyuono menyampaikan permohonan, "agar dalam mengurus keuangan negara jangan kayak tukang sayur atau kayak juru bayar. Tapi benar-benar mengerti bahwa suksesnya bisnis bergantung pada kecepatan dan ketepatan waktu yang telah direncanakan," terangnya.
"Kalau Menkeu yang terlihat kurang happy dan kurang setuju dengan PMN untuk BUMN yang meyebabkan bertambahnya pengeluaran dalam APBN. Mungkin saja memang kurang mengerti peran dari BUMN bila terjadi kelesuan ekonomi untuk bisa menjadi motor penegak ekonomi," paparnya.
"Atau memang pemikiran Sri Mulyani ya kalau lebih baik itu BUMN dijual bulat-bulat atau diprivatisasi ke Asing lagi?," celetuk Arief, dengan nada khawatir.
"Maka itulah, Bapak Presiden Joko Widodo diharap jeli dalam hal ini dan jangan melulu mendengarkan. Karena semasa di era masanya saat jadi Menkeu saja, keuangan negara bobol 6.7 trilyun rupiah dalam kasus 'Bail Out Bank Century'," pungkasnya.(bh/mnd)
|