JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya uji materiil Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Kamis (14/12). Pokok permohonan Perkara Nomor 89/PUU-XV/2017 dinilai MK tak beralasan menurut hukum. "Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim lainnya.
Batara Paruhum Radjagukguk selaku Pemohon berprofesi sebagai advokat meminta agar penggunaan toga bagi advokat wajib dalam seluruh perkara di pengadilan. Sebab selama ini kewajiban memakai toga hanya berlaku di perkara pidana saja. Menurutnya, kondisi saat ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan beda perlakuan. Pemohon mendalilkan toga merupakan ciri khas advokat sebagai penegak hukum. Jika tidak memakai toga akan menurunkan citra dan jati diri advokat sebagai penegak hukum.
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat Mahkamah menyatakan alasan menjadi kurang percaya diri dan kurang berwibawa jika tidak memakai toga, bukanlah berarti norma undang-undang sebagaimana termuat dalam Pasal 25 UU Advokat serta-merta bertentangan dengan UUD 1945. Dalam konteks advokat, rasa percaya diri dan kewibawaan bukanlah semata-mata ditentukan pakaian atau atribut yang digunakan, melainkan oleh kapasitas dan integritas advokat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesionalnya.
"Kapasitas dan integritas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesional itulah yang sungguh-sungguh akan memberikan tempat kepada profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) di mata masyarakat, khususnya pencari keadilan (justitiabelen). Jadi bukan karena faktor atribut semata," tegasnya.
Jika perkara dikabulkan, tambah Saldi, hal itu justru dapat berpotensi melahirkan disharmoni horizontal karena secara psikologis dapat melahirkan persepsi ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan antarpihak, khususnya dalam perkara perdata yang sifatnya interpartes. Sebab, lanjutnya, sampai sekarang hukum acara perdata yang berlaku tidak menganut verplichte procureur stelling. Artinya para pihak tidak diwajibkan untuk diwakili kuasa hukum yang merupakan seorang advokat sehingga dapat terjadi kemungkinan di mana salah satu pihak dalam suatu perkara perdata diwakili oleh advokat. Adapun pihak lainnya tidak menggunakan kuasa hukum.
"Sementara itu, kewajiban advokat memakai toga dalam perkara pidana adalah untuk menunjukkan kesetaraan antara terdakwa (yang didampingi oleh advokat) dengan jaksa/penuntut umum yang merupakan representasi negara. Inilah yang membedakan dengan perkara perdata," tegasnya.(ARS/LA/MK/bh/sya)
|