RANGOON (BeritaHUKUM.com) – Pimpinan departemen sensor pers Myanmar, yang selama ini dikenal bersikap represif terhadap media, menyerukan agar media di negara itu diberi kebebasan yang lebih besar. Pasalnya, sensor media tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi sehingga harus dihapuskan.
"Sensor Pers tidak dipraktekkan lagi oleh negara-negara tetangga kita, juga di kebanyakan negara lain, karena tidak selaras dengan praktek demokrasi. Untuk itu, sensor harus dihapuskan dalam waktu dekat," kata kepala departemen sensor pers Myanmar, Tint Swe Tint Swe dalam wawancara dengan Radio Free Asia, Sabtu (8/10), seperti dikutip situs BBC.
Bahkan, dia mengusulkan, agar lembaga sensor pers yang dipimpinnya dihapuskan. Tapi, ia menyaratkan kebebasan pers itu harus tetap bertanggungjawab. Pernyataan pejabat Myanmar ini, menunjukkan perubahan yang ditunjukkan pemerintahan junta militer Myanmar dalam menghadapi pers.
Sebelumnya, mereka juga tidak melarang pemberitaan terkait aktivitas pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi, yang sebelumnya dilarang sama sekali. "Sekarang, tidak ada lagi pembatasan terhadap aktivitas Aung San Suu Kyi... semua ini bagian dari perubahan demokratis yang ditempuh negara, " kata Tint Swe.
Laporan-laporan media juga menyebutkan, kebijakan baru terhadap pers ini merupakan bagian dari langkah reformasi yang ditempuh pemerintah Myanmar, meski belum jelas seberapa jauh kebijakan itu dipraktekkan.
Sejak Juni lalu, pemerintah Myanmar juga telah mencabut aturan yang mengharuskan semua terbitan pers – mulai olah raga, jurnal ilmiah, majalah hiburan—melaporkan isinya sebelum dicetak. Bulan September lalu, warga Myanmar untuk pertama kalinya bisa melihat kembali terbitan pers yang sebelumnya dibredel.
Seorang jurnalis yang tidak mau disebut identitasnya, menganggap pernyataan Tint Swe itu sebagai sebuah langkah maju, meskipun "masih terkesan hati-hati." Meski demikian, Komite Pelindungan Wartawan di Myanmar (CPJ) menyatakan, sampai bulan lalu kebebasan pers di negara itu masih dibatasi. Mereka menyatakan, sebagian wartawan masih dipenjara akibat berita yang mereka tuliskan.(bbc/sya)
|