JAKARTA, Berita HUKUM - Setelah enam bulan berjalan, Kabinet Kerja di bawah bendera Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), semakin kewalahan mengelola informasi akibat mesin komunikasi yang tidak efektif. Demikian dikatakan pengamat komunikasi dan psikologi publik dari Universitas Trisakti, Rama Yanti dalam siaran persnya pada, Senin (25/5).
"Sebagian besar isu atau gossip menjadi bola liar, dan pemerintah kerap gelagapan menyikapinya. Segala informasi yang beredar diitanggapi hanya dengan pernyataan, bukan dengan data, sehingga tetap menjadi sebuah pertanyaan yang tidak terjawab," katanya.
Sebagai contoh, katanya, kasus isu beras plastik yang tidak bisa disikapi dengan baik sehingga membuat masyarakat resah. Masyarakat awam membayangkan, beras plastik serupa dengan plastik yang biasa mereka lihat sehari-hari, seperti misalnya kantong kresek atau ember plastik.
"Padahal itu hanyalah istilah untuk sebuah produk buatan yang tadinya hasil alam ciptaan Tuhan kemudian dibuat oleh manusia melalui rekayasa teknologi. Sama seperti operasi plastik untuk wajah manusia, kan bukan berarti wajahnya terbuat dari plastik, tetapi wajahnya dipermak sana sini melalui sebuah operasi. Plastik hanyalah sebuah istilah, karena plastik bisa diubah-ubah atau didaur ulang menjadi berbagai bentuk barang yang dikehendaki oleh pembuatnya. Sama dengan istilah sintetis," ujar Rama Yanti yang saat ini sedang menyelesaikan magister manajemen komunikasi di Universitar Triksakti.
Penjelasan-penjelasan sederhana seperti itu sepertinya tidak mampu dijelaskan oleh pihak berwewenang, "Ngapain aja itu Menkominfo? Apakah fungsinya hanya sekadar mengurusi komunikasi dan informasi yang bersifat produk seperti seluler, internet, televisi dan media lainnya? Pengertian saya Menkominfo itu adalah semacam Departemen Penerangan zaman Orde Baru, yang salah satu fungsinya memberikan penerangan kepada rakyat atas sebuah masalah atau kebijakan yang akan atau sedang dilakukan oleh pemerintah."
Maka Presiden Jokowi pun berfungsi sebagai menteri penerangan, harus menjelaskan segala hal secara langsung sebagai sumber utama informasi. "Hasilnya bisa kita lihat, penjelasannya sepotong-sepotong. Celakanya lagi, yang diberikan bukan sebuah penjelasan tetapi hanya sekadar jawaban atas pertanyaan wartawan yang tidak ada kaitannya dengan isu yang beredar," kata sarjana psikologi lulusan Universitas Atma Jaya itu.
Seperti jawaban terakhir Presiden Jokowi atas isu beras plastik, "Kamu enggak usah gede-gedein, wong di satu tempat saja kok. Ini baru dilihat di labnya IPB, di labnya BPOM. Kalau sudah kami simpulkan, baru kita bicara. Jangan semua bicara, semua bicara, tetapi membesarkan masalah saja," kata Jokowi di Solo, Minggu (24/5).
Agar jawabannya bisa meredam isu seharusnya Jokowi memanggil Menteri Pertanian dan Kepala Bulog untuk menjelaskan kepada pers atas pertanyaan terkait masalah tersebut. Itu bila Menkominfo tidak berfungsi sebagai Humas Pemerintah.
Bila semua masalah hanya Jokowi yang jawab, maka pemerintah semakin kedodoran dalam menjelaskan semua kasus atau isu besar yang beredar di kalangan publik.
Begitu juga, isu soal reshuffle Kabinet Kerja, juga menjadi bola liar yang tidak karuan. Sumbernya pun simpang siur. "Semua pihak yang berkepentingan ikut menggoreng isu tersebut menjadi semakin sedap. Pemerintah juga tidak bisa memberikan informasi yang tuntas."
Simpang siurnya isu besar walaupun menjadi 'makanan empuk' media massa, sangat tidak baik dilepas ke pasar dan dibiarkan redah sendiri, karena akan berdampak kepada kehidupan masyarakat. "Banyaknya isu yang tidak jelas menandakan bahwa masyarakat kita sangat labil. Apakah pemerintah juga labil? Ya tunggu aja jawaban dari Pemerintah," tulis Rama Yanti.(ry/bh/sya) |