Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Pariwisata
Quo Vadis Rancangan UU Tentang Kawasan Pariwisata Khusus
Friday 31 Oct 2014 13:47:04
 

Ilustrasi. Suasana Pantai Laut.(Foto: BH/sya)
 
Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.

INDONESIA merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang tidak ternilai harganya. Kekayaan tersebut berupa letak geografis yang strategis, keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora, dan fauna, peninggalan purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang merupakan sumber daya dan modal untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Sumber daya dan modal tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal, yang salah satunya dilakukan melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan mendayagunakan daya tarik wisata dan destinasi di Indonesia, serta memupuk rasa cinta tanah air dan mempererat persahabatan antarbangsa.

Penyelenggaraan kepariwisataan Indonesia dilakukan dengan bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan bangsa dengan tetap menempatkan kebhinekaan sebagai suatu yang hakiki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, pembangunan kepariwisataan harus tetap memperhatikan jumlah penduduk, yang merupakan salah satu modal utama dalam pembangunan kepariwisataan pada masa sekarang dan yang akan datang, karena memiliki fungsi ganda sebagai aset sumber daya manusia juga berfungsi sebagai sumber potensi wisatawan nusantara.

Salah satu upaya untuk menjamin terselenggaranya kegiatan sekaligus memajukan kepariwisataan di Indonesia, yaitu dengan membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan) yang salah satu substansi pokoknya adalah mengatur mengenai “kawasan strategis pariwisata”. Di dalam Bab V tentang Kawasan Strategis UU Kepariwisataan terdapat Pasal 13 ayat (4) yang mengamanatkan untuk menetapkan kawasan pariwisata khusus, yang menyatakan:

“Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Kemudian penjelasan Pasal 13 ayat (4) menyatakan: “Kawasan strategis yang memiliki kekhususan wilayah menjadi kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Penetapan kawasan pariwisata khusus dimaksudkan agar dapat membentuk landasan hukum untuk melakukan pengelolaan kawasan pariwisata di daerah perbatasan, mempercepat pengembangan ekonomi dan perkembangan daerah di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan, dan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak pada skala nasional dari berbagai pintu gerbang internasional di darat, laut, dan udara serta wiIayah cakupannya.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 13 ayat (4) UU Kepariwisataan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Kawasan Pariwisata Khusus (RUU Kaparsus) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2013 pada nomor urut 46. Pembentukan RUU Kaparsus dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pariwisata Indonesia, mendorong kemajuan destinasi pariwisata, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara, dan memacu pertumbuhan ekonomi kreatif yang merupakan bagian solusi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Materi Pokok Pengaturan

Seperti yang telah dinyatakan atas, bahwa pembentukan RUU Kaparsus merupakan amanat dari Pasal 13 ayat (4), yang menyatakan: “Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Kemudian penjelasan Pasal 13 ayat (4) menyatakan: “Kawasan strategis yang memiliki kekhususan wilayah menjadi kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Ketentuan Pasal 13 ayat (4) adalah ketentuan yang bersifat penetapan (beschiking), artinya ketentuan tersebut mengandung pengertian perintah atas penetapan suatu hal, yaitu menetapkan suatu kawasan strategis pariwisata tertentu menjadi Kaparsus dengan undang-undang.

Akan tetapi, dalam perspektif legal drafting ketentuan Pasal 13 ayat (4) tidak serta merta dapat dilaksanakan mengingat secara sistematika undang-undang ketentuan mengenai penetapan Kaparsus tiba-tiba saja muncul di dalam UU Kepariwisataan. Tidak ada satu ketentuan pun di dalam UU Kepariwisataan yang mengatur mengenai mekanisme, tata cara, dan status hukum dari peristiwa penetapan tersebut. Padahal secara logika hukum, untuk dapat menetapkan suatu hal harus terlebih dahulu diatur atau dirumuskan hal yang terkait dengan pedoman, tata cara, kriteria, dan hal lainnya yang dianggap perlu untuk melakukan penetapan itu sendiri. Apabila pedoman atau parameter telah dirumuskan barulah penetapan dapat dilakukan.

Sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (4) sangat multitafsir dan menimbulkan kekosongan hukum terkait mekanisme dan implikasi hukum mengenai peristiwa penetapan suatu kawasan strategis pariwisata oleh undang-undang menjadi Kaparsus, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (4) tidak serta merta dapat dilaksanakan. Adapun substansi yang harus diatur atau dirumuskan terlebih dahulu agar suatu kawasan strategi pariwisata dapat ditetapkan oleh undang-undang menjadi Kaparsus adalah terkait beberapa substansi, antara lain pengertian “kekhususan wilayah”, kedudukan, fungsi, dan tujuan pembentukan; kriteria penetapan; mekanisme dan tata cara pembentukan; kelembagaan dan pengelolaan; tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah; proporsi besaran pembagian hasil; dan fasilitas (perpajakan, bebas visa, investasi, karantina, infrastruktur, sarana dan prasarana, dll).

Setelah substansi tersebut diakomodasi di dalam RUU Kaparsus atau di dalam pedoman penetapan Kaparsus, barulah penetapan dengan undang-undang suatu kawasan strategis pariwisata menjadi Kaparsus dapat dilaksanakan. Sehingga nantinya, hal-hal di atas dapat dijadikan instrumen atau pedoman untuk menentukan karakteristik kekhususan wilayah dari suatau kawasan strategis pariwisata untuk dapat ditetapkan menjadi Kaparsus dengan undang-undang.

Alasan penetapan suatu kawasan strategis pariwisata menjadi Kaparsus oleh undang-undang sebenarnya tidak langsung terkait dengan efektifitas pelaksanaan kawasan strategis pariwisata itu sendiri. Hal ini dapat disadari karena pembentukan pengaturan mengenai kawasan strategis pariwisata diatur bersamaan dengan pengaturan mengenai penetapan suatu kawasan strategis pariwisata menjadi Kaparsus di dalam UU Kepariwisataan. Pengaturan Kaparsus dilakukan dengan tujuan pengembangan suatu kawasan strategis pariwisata melalui pendekatan kekhususan wilayah.

Sehingga diharapkan nantinya tidak akan banyak jumlah Kaparsus yang akan ditetapkan, tetapi hanya beberapa kawasan strategis pariwisata yang benar-benar memiliki “kekhususan wilayah”. Disisi lain evaluasi dari pengelolaan kawasan strategis pariwisata yang ada selama ini memberikan daya dorong serta memperkuat semakin perlunya membentuk suatu Kaparsus. Adapun pengelolaaan kawasan strategis pariwisata saat ini belum dilaksanakan secara maksimal karena kurangnya dukungan sarana prasarana, tidak terdapatnya fasilitas secara khusus di dalam kawasan strategis pariwisata, dan belum adanya kewenangan pengelolaaan dan belum dikelola secara serius, terarah, dan profesional.

Problematika Dalam Penyusunannya

RUU Kaparsus diinisiasi dari keberlakuan Pasal 13 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang menyatakan: “Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Kemudian pada bagian penjelasan menyatakan: “Kawasan strategis yang memiliki kekhususan wilayah menjadi kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Nomenklatur/terminologi “kawasan pariwisata khusus” yang ada dalam UU Kepariwisataan “muncul secara tiba-tiba”, dalam arti tidak ada satu pun pasal atau ayat yang menyebutkan nomenklatur/terminologi “kawasan pariwisata khusus” sebelum atau sesudah Pasal 13 ayat (4) beserta penjelasannya.

Hal ini tentu saja agak sedikit menyulitkan ketika kita ingin memaknai (menginterpretasi) apa yang dimaksud dengan “kawasan pariwisata khusus” dan bagaimana pengaturan yang terkait dengannya, satu-satunya petunjuk hanyalah dapat kita interpretasikan dari penjelasan Pasal 13 ayat (4), yaitu “kawasan pariwisata khusus” harus memenuhi 3 unsur, pertama: kawasan strategis, kedua: memiliki kekhususan wilayah; dan ketiga: ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 13 ayat (4) merupakan bagian dari materi pengaturan yang ada di Bab V tentang Kawasan Strategis. Adapaun pengaturan yang terkait dengan “kawasan strategis pariwisata” seperti pengertian, aspek yang harus diperhatikan, tingkatan, status, dan siapa pihak yang menetapkan telah diatur secara jelas dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 12, dan Pasal 13. Dalam konteks menjalankan amanah prolegnas di atas, hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah RUU Kaparsus yang nantinya akan disusun merupakan ruu penetapan (beschikking) atau ruu pengaturan (regeling), mengingat norma terkait dengan Kaparsus yang ada di UU Kepariwisataan sangat tidak jelas dan sumir.

Untuk menjawab hal tersebut, dirasa perlu untuk mengkaji masing-masing dari dua kemungkinan di atas, pertama, membentuk RUU Kaparsus yang bersifat penetapan, dalam Pasal 13 ayat (4) UU Kepariwisataan jelas dinyatakan bahwa “Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.” Kata “ditetapkan” jelas maknanya bahwa UU ini memerintahkan atau mendelegasikan untuk membentuk uu penetapan suatu “kawasan strategis yang memiliki kekhususan” untuk ditetapkan menjadi Kaparsus.

Implikasi dari hal tersebut maka pendekatan yang digunakan di dalam penyusunan tentang RUU Kaparsus ini adalah menginventarisir dengan cara menjaring masukan dari daerah maupun anggota “kawasan strategis yang memiliki kekhususan” yang mana secara kongkret, jelas, dan spesifik di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki potensi dan cocok untuk dijadikan Kaparsus. Untuk itu mekanisme kerja yang harus dilakukan tidak hanya menyusun norma-norma apa yang harus diatur di dalam RUU Kaparsus, tapi juga harus melakukan peninjauan lapangan, uji kesiapan, validasi data, menguji kesiapan kelembagaan dan hal-hal lainnya seperti yang dilakukan dalam ruu penetapan suatu wilayah terhadap suatu “kawasan strategis yang memiliki kekhususan” untuk ditetapkan dengan UU menjadi Kaparsus. Sehingga nantinya ruu yang dihasilkan akan spesifik mengatur suatu “kawasan strategis yang memiliki kekhususan” ditetapkan menjadi Kaparsus oleh UU, misalnya:

a. RUU tentang Kawasan Pariwisata Khusus Religi NAD
(status dan kedudukan NAD sebagai Kawasan Pariwisata Khusus Religi di dalamnya juga mengatur mekanisme pengelolaan, tugas dan wewenang, serta porsi dan besaran pembagian hasil dari pengelolaannya)

b. RUU tentang Kawasan Pariwisata Khusus Batam
(status dan kedudukan Batam sebagai Kawasan Pariwisata Khusus di dalamnya menjelaskan prioritas yang akan dikembangkan, misalnya untuk kegiatan “perjudian”, juga mengatur mekanisme pengelolaan, tugas dan wewenang, serta porsi dan besaran pembagian hasil dari pengelolaannya)

c. RUU tentang Kawasan Pariwisata Khusus Kepulauan Seribu
(status dan kedudukan Batam sebagai Kawasan Pariwisata Khusus di dalamnya menjelaskan prioritas yang akan dikembangkan, misalnya untuk kegiatan “perjudian”, juga mengatur mekanisme pengelolaan, tugas dan wewenang, serta porsi dan besaran pembagian hasil dari pengelolaannya)

Kedua, membentuk RUU Kaparsus yang bersifat pengaturan, seperti telah dinyatakan di atas, bahwa substansi Pasal 13 ayat (4) mengenai nomenklatur/terminologi “kawasan pariwisata khusus” yang ada dalam UU Kepariwisataan “muncul secara tiba-tiba”, dalam arti tidak ada satu pun pasal atau ayat yang mengatur terkait “kawasan pariwisata khusus” baik sebelum maupun sesudah Pasal 13 ayat (4). Hal ini tentu saja agak sedikit menyulitkan ketika kita ingin memaknai apa yang dimaksud dengan “kawasan pariwisata khusus” dan bagaimana pengaturan yang terkait dengannya, satu-satunya petunjuk hanyalah dapat kita interpretasikan dari penjelasan Pasal 13 ayat (4) , yaitu “kawasan pariwisata khusus” harus memenuhi 3 unsur, pertama: kawasan strategis, kedua: memiliki kekhususan wilayah; dan ketiga: ditetapkan dengan undang-undang.

Terdapat beberapa hal yang sebenarnya belum diatur dengan jelas dalam UU Keperiwisataan terkait dengan Kaparsus. Untuk menentukan suatu “kawasan strategis yang memiliki kekhususan wilayah”ditetapkan oleh UU menjadi Kaparsus hendaknya terlebih dahulu harus ada pengaturan yang terkait dengan beberapa hal:

a. Apa yang dimaksud dengan “yang memiliki kekhususan wilayah” di dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (4) UU Keperiwisataan ?

b. Apa pengertian Kaparsus ?

c. Apa kekhususan (karakteristik khusus) yang di miliki Kaparsus ?

d. Apa fungsi, bentuk, status, dan kedudukan dari Kaparsus ?

e. Apa kriteria dan mekanisme “kawasan strategis pariwisata yang memiliki kekhususan wilayah” untuk dapat ditetapkan menjadi Kaparsus ?

f. Siapa dan bagaimana bentuk kelembagaan yang mengelola Kaparsus ?

g. Bagaimana mekanisme pengelolaan Kaparsus ?

h. Tugas dan kewenangan masing-masing kelembagaan (Pemerintah, Pemda, dan badan pengelola) yang ada di Kaparsus ?

i. Apa hak dan kewajiban masing-masing stakeholder yang ada di Kaparsus ?

j. Apa fasilitas, kemudahaan, perpajakan, fiskal, ketenagakerjaan dan lain-lain yang di miliki Kaparsus ?

k. Bagaimana pembagian proporsi dan besaran hasil dalam pengelolaan Kaparsus ?

l. Hal lain yang perlu diatur untuk menyelenggarakan suatu Kaparsus ?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah hal-hal yang harus diatur terlebih dahulu dan merupakan payung hukum yang akan mengatur apabila pemerintah dan DPR ingin menetapkan suatu “kawasan strategis pariwisata yang memiliki kekhususan wilayah” menjadi Kaparsus. Untuk itu perlu dibuat RUU Kaparsus yang substansi berlaku secara umum bagi setiap “kawasan strategis pariwisata yang memiliki kekhususan wilayah” yang akan ditetapkan melalui UU menjadi Kaparsus. UU Kaparsus ini nantinya akan menjadi lex specialist dari UU Keperiwisataan.

Harapan Kedepan

Dari uraian di atas, mengingat pentingnya RUU ini untuk meningkatkan dukungan sarana prasarana, fasilitas secara khusus di dalam kawasan strategis pariwisata, kewenangan pengelolaaan dan pengelolaan suatu kawasan pariwisata secara lebih serius, terarah, dan professional hendaknya RUU Kaparsus keberadaanya kembali dicantumkan di dalam Prolegnas Tahun 2014-2019 untuk melanjutkan kembali amanat Prolegnas terdahulu yang sempat tertunda.

Agar pengaturan mengenai Kaparsus ini tidak menimbulkan problemtika hukum tersendiri di dalam pembentukannya maka perlu disampaikan beberapa alternatif berikut, Pertama, agar tidak terjadi perbedaan interpretasi mengenai apakah RUU Kaparsus berbentuk pengaturan atau bersifat penetapan maka rumusan terhadap ketentauan Pasal 13 ayat (4) UU Kepariwisataan perlu disempurnakan dengan mengganti rumusannya, sehingga rumusannya berbunyi “Kawasan pariwisata khusus diatur dengan undang-undang.”

Kedua, membentuk RUU Kaparsus yang pengaturannya bersifat penetapan, yaitu menetapkan suatu daerah tertentu menjadi kaparsus, adapaun terkait teknis pengaturan yang bersifat lebih teknis dan detail didelegasikan pengaturannya dalam peraturan yang lebih rendah yaitu Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.

Ketiga, membentuk UU yang bersifat pengaturan, yang substansinya mengatur pengertian “kekhususan wilayah”, kedudukan, fungsi, dan tujuan pembentukan, kriteria penetapan, mekanisme dan tata cara pembentukan, kelembagaan dan pengelolaan, tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah, proporsi besaran pembagian hasil; dan fasilitas (perpajakan, bebas visa, investasi, karantina, infrastruktur, sarana dan prasarana, dll). Apabila UU ini telah dibentuk nantinya akan menjadi landasan hukum bagi penetapan suatu wilayah khusus menjadi kaparsus.

Kesemua alternatif solusi tersebut perlu dilakukan guna memajukan suatu daerah pariwisata yang memiliki potensi khusus agar dapat dikembangkan secara lebih maksimal, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar dan memberi pemasukan bagi keuangan di daerah maupun pusat demi peningkatan kesejahteraan rakyat.(zr/bhc/sya)

Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan (Legislative Drafter) Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 2003 sampai sekarang.




 
   Berita Terkait > Pariwisata
 
  Penurunan Pariwisata di Bali Berdampak Besar Terhadap Ekonomi Masyarakat
  Maksimalkan Potensi Pariwisata, Komisi IV DPRD Kaltim Studi Banding ke Jawa Barat
  Pak Jokowi, Pariwisata Indonesia Juga Semakin Gak Beres Nih
  Sensasi Menjelajah Lautan dengan De' Kartini
  Menpar Memberikan Penghargaan Uang Tunai Jutaan Rupiah dalam APWI 2018
 
ads1

  Berita Utama
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet

Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu

Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi

100 Tokoh Deklarasi Tolak Pemilu Curang TSM, Desak Audit Forensik IT KPU

 

ads2

  Berita Terkini
 
Polda Metro Respon Keluhan Pedagang Ikan Modern Muara Baru Jakarta Utara dengan Pengelola Pasar

Nikson Nababan Menyatakan Siap Maju Pilgub Sumut, Jika Mendapat Restu Ibu Megawati

BP2MI Siap Sambut 9.150 Pekerja Migran Indonesia yang Cuti Lebaran 2024 dan Habis Masa Kontraknya Kembali ke Tanah Air

Datang Lapor ke Komnas HAM, MPA Poboya Adukan Polres Palu ke Komnas HAM, Dugaan Kriminalisasi

Gelar Rakor Lintas K/L, Polri Pastikan Mudik-Balik Lebaran 2024 Berjalan Aman dan Nyaman

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2