Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Politik    
Sri Mulyani
Sri Mulyani: Sumbangan Saya Untuk Inspirasi Perubahan Indonesia
Saturday 16 Jul 2011 15:5
 

 
JAKARTA-Jurnalis sekaligus presenter teve Charlie Rose baru-baru ini, mewawancarai Sri Mulyani Indrawati tentang kondisi Indonesia, Bank Dunia, dan permasalahan ekonomi dunia. Wawancaranya disiarkan langsung oleh Bloomberg TV pada 5 Juli 2011.

Berikut adalah terjemahan dari wawancara selama 27 menit, yang dikutip dari situs srimulyana.net. Judul dari wawancara itu yang tercantum dalam situs tersebut, yakni “Wawancara Charlie Rose dengan Sri Mulyani”. Pertanyaan itu diawali dengan pertanyaan tentang kemungkinan Sri Mulyani akan kembali ke Indonesia dan maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Berikut petikannya :

Charlie Rose (CR): Anda akan kembali ke Indonesia dan maju sebagai presiden?
Sri Mulyani (SM): Itu pertanyaan yang sering muncul (tersenyum) sekarang saya menjabat Managing Director Bank Dunia, yang membawahi lebih dari 70 negara di tiga zona, saya menikmati pekerjaan ini, namun saya merasa terhormat jika ada orang yang menaruh harapan dan percaya bahwa saya bisa memberikan yang terbaik untuk Indonesia.

CR: Bagaimana penilaian anda tentang Indonesia saat ini?
SM: Dari segi ekonomi, Indonesia ada di urutan 16 di forum G20, kita memang kurang mendapat sorotan media, sehingga tak banyak orang yang mengerti kondisi negara ini sebenarnya. Mengapa? Karena saya pikir, Indonesia kurang artikulatif, meskipun kita adalah negara yang sangat menarik, baik dari segi luas wilayah dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa, mayoritas muslim, demokratis.
Di era 30 tahun pemerintah Suharto, kami berhasil mengurangi angka kemiskinan. Namun kami juga belajar bahwa meningkatkan angka pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan, tidaklah cukup. Rakyat menginginkan transparansi, partisipasi, akuntabilitas, pemerintah yang bersih, dan anti-korupsi. Ini menjadi hikmah yang bisa kami ambil – dengan biaya besar, tentunya – 75 persen dari PDB digunakan untuk menyelamatkan sistem perbankan yang kolaps akibat krisis eksternal, dan internal. Jadi, Indonesia mendapat banyak pelajaran berharga, sangat beragam, namun banyak pula pencapaiannya. Dari bidang pembangunan, banyak hal yang bisa dipelajari dari negara ini.

CR: Terkait dengan Arab Spring, banyak orang bertanya, siapa yang menjadi model? Ada yang mengatakan Turki, ada yang mengatakan Indonesia, bagaimana anda menangani ekonomi setelah Suharto jatuh?
(Arab Spring adalah istilah untuk menggambarkan gelombang protes dan demonstrasi menuntut demokrasi dan pemerintahan yang bersih yang terjadi di dunia Arab sejak 18 Desember 2010. Dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Syria, Yemen, Algeria, dan beberapa negara lain – red)
SM: Itu bukan hal yang mudah, kita bicara soal Indonesia setelah 12 tahun masa transisi, periode yang menyakitkan; mengingat apa yang kami alami di tahun 1997-1998. Sebuah pengalaman yang sangat berharga, mengubah sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari masyarakat yang tertutup menjadi terbuka, dari otoritarian menjadi demokratis, dan itu semua dialami oleh negara sebesar Indonesia. Banyak yang berpikir bahwa saat itu Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil. Masa-masa yang sulit bagi kami.
Namun di masa kritis tersebut kami mengadopsi apa yang disebut ‘front-loaded reform’ untuk memastikan bahwa kami akan berubah, meninggalkan masa lalu, membuang praktek lama. Kami menyusun Undang-Undang Anti Korupsi yang lebih bergigi, mendirikan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang kami banggakan. Pemerintah melakukan perubahan besar dalam hal keuangan negara, - jika kita lihat apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia, mereka bertanya bagaimana cara mengelola keuangan negara; mulai dari penyelenggaraan, pengungkapan, penyelamatan, dan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat.
Banyak hal yang tak mampu dicapai dalam reformasi ini, harapan rakyat sangat tinggi di masa transisi, apalagi setelah 30 tahun di bawah orde yang lama, mereka ingin perubahan sekarang juga, secepatnya. Jadi kadang-kadang rintangan muncul, dan harus diatasi oleh pemerintahan transisi. Yang juga penting adalah, munculnya kelompok kepentingan, yang mencoba mengambil keuntungan dari proses tersebut.

CR: Kelompok kepentingan seperti apa?
SM: Beragam. Di bidang politik, muncul debat tentang apakah Indonesia akan menjadi negara yang terbuka, demokratis, dan majemuk, atau -sebagai negara dengan mayoritas muslim- perlu menerapkan hukum syariah. Di bidang ekonomi, muncul debat tentang anti modal asing vs nasionalisme, dikaitkan dengan peran negara, karena kami punya sekitar 130 BUMN. Perdebatan ini juga terjadi di banyak negara, soal kebijakan nasionalistik dan pro rakyat versus kebijakan yang lebih efisien dan terbuka terhadap persaingan.

CR: Bagaimana Indonesia memelihara toleransi, sebagai negara mayoritas muslim?
SM: Secara konstitusional hal itu sudah sejak lama dibahas, bahkan sejak para bapak bangsa menyusun pembukaan Undang-Undang Dasar kami. Sudah disepakati, dan ini telah menjadi komitmen bangsa, sebuah kontrak sosial, bahwa kami menghormati semua agama dan kepercayaan. Tak ada secara eksplisit menyebut soal Islam. Jauh sebelumnya, bapak pendiri bangsa kami pun seudah dihadapkan pada persoalan ini. Apakah harus mencantumkan hukum syariah (di konstitusi) atau menjadi negara majemuk yang menghormati semua agama dan kepercayaan.
Saya rasa saat ini, isu yang muncul di Indonesia yang semakin terbuka dan demokratis, dimana masyarakat bebas mengeluarkan pendapat, adalah soal penghormatan dan penegakan hukum. Karena demokrasi tanpa penegakan hukum menjadi anarki, mayoritas akan menindas minoritas. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia siap menelan pil pahit jika kembali memperdebatkan persoalan itu.
Namun jika anda mengikuti secara lebih dekat tentang apa yang terjadi di masyarakat Indonesia sekarang, saya pikir mayoritas rakyat merasa bahwa kesepakatan yang telah diambil oleh para pendiri bangsa kami adalah yang terbaik

CR : Dan anda setuju dengan hal itu?
SM: Tentu saja.

CR: Apa ancaman yang harus dihadapi?
SM: Seperti yang terjadi di banyak negara, kelompok kepentingan – baik politik atau ekonomi, punya kemampuan untuk mempengaruhi, di tingkat kebijakan maupun keputusan, demi keuntungan mereka sendiri. Di sistem yang demokratis, mereka pun berupaya mendapat pengaruh melalui sistem. Mereka mendirikan partai politik, dengan program kerja dan ideologi yang kemudian ditawarkan ke masyarakat. Di Indonesia, kami telah dua kali melakukan pemilu di masa transisi, kami telah membuat pilihan. Hasilnya, mayoritas rakyat Indonesia memilih partai yang moderat dan majemuk, yang mengedepankan kepentingan nasional daripada partai yang berbasis agama.

CR: Termasuk partainya presiden?
SM: Tidak hanya partai presiden, tapi ada 2 atau 3 partai (besar) lain yang berasaskan nasional dan pluralis, bukan agama. Itu menjadi mekanisme yang menjamin proses ‘check & balance’ diantara kelompok-kelompok kepentingan yang ada.

CR: Sejauh mana perjuangan Indonesia melawan korupsi?
SM: Korupsi selalu menjadi musuh pembangunan, baik di negara maju maupun berkembang,

CR: Karena banyaknya uang yang dihasilkan..
Ya, di masa lalu, 30 persen dari APBN Indonesia bocor atau dikorupsi. Bank Dunia memperkirakan biaya yang harus ditanggung pemerintah di negara-negara berkembang akibat korupsi mencapai 20-40 milyar dollar AS. Korupsi terkait dengan kepercayaan masyarakat, efektivitas pemerintahan, penegakan hukum, keadilan hukum. Kemampuan untuk menegakkan hukum sangat penting dan di Indonesia hal ini masih menjadi kendala. Untuk kasus Indonesia – ini juga terjadi di banyak negara- kelompok kepentingan memiliki kekuasaan yang luas, bisa ikut campur mulai dari tingkat pembuatan kebijakan hingga memanipulasi pemerintahan. Jadi, administrasi pemerintah, birokrasi, harus diperbaiki, dan itu adalah pergulatan yang dihadapi oleh banyak negara berkembang saat ini.

CR: Kita beralih ke soal Bank Dunia – apa tantangan terbesar yg hadapi sekarang?
SM: Dari pekerjaan saya sebelumnya, saya mendapat banyak pelajaran dan pengalaman, bahwa persoalan pembangunan bukanlah suatu hal yang sederhana. Prinsip ini yang saya bahwa ke Bank Dunia. Saya membawa sudut pandang negara klien ke sebuah lembaga yang mencoba memberantas kemiskinan di dunia, dan bekerja sama dengan dan melalui pemerintah di semua negara. Dengan memahami kompleksitas masing-masing negara, baik negara otoriter maupun demokratis, maka saya memahami sejauh mana Bank Dunia bisa berperan. Pada akhirnya, lembaga ini belajar banyak, dari pengalaman membangun di tiap-tiap negara. Pada 25 Juni lalu, Bank Dunia berulangtahun ke 65. Ini berarti kami sudah menghimpun banyak pelajaran dan pengetahuan selama 65 tahun terakhir.

CR: Apakah fokus World Bank berubah?
SM: Dari masa ke masa saya rasa ada perubahan. Pada masa lalu, fokus diarahkan ke soal infrastruktur yang berorientasi proyek. Setelah itu bergeser ke isu yang lebih ‘soft’ seperti pendidikan dan kesehatan. Sekarang, kami menangani isu yang lebih besar seperti kebijakan makro ekonomi, pemerintahan yang bersih, anti-korupsi. Ditambah dengan persoalan ketahanan pangan, harga minyak.

CR: Termasuk soal kelangkaan pangan?
SM: Ya, kelangkaan dan volatilitas pangan yang menjadi ancaman nyata bagi pembangunan.

CR: Apa persoalannya?
SM: Di tahun 2050, populasi dunia akan mencapai 9 milyar. Namun jumlah lahan tetap.

CR: Artinya jumlah orang bertambah tapi lahan tak bertambah?
SM: Betul. Jumlah negara berpendapatan menengah pun meningkat, yang artinya persoalan pangan tidak lagi sekedar kuantitas (jumlah) tapi kualitas. Permintaan tinggi datang dari negara-negara berpendapatan menengah seperti China, negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Asia Selatan. Kemudian kebutuhan energi juga bertambah, ada ‘trade-off’ antara pengan dengan bio-fuel. Semua hal tersebut memberikan gambaran bahwa permintaan (demand) selalu ada, dan semakin meningkat, sementara kemampuan untuk mencukupi persediaan (supply) masih harus dibenahi.

CR: Menurut anda, Bank Dunia adalah lembaga yang tepat untuk mengatasi hal ini?
SM: Tak hanya Bank Dunia, kami juga bekerjasama dengan FAO, G20. Dengan forum G20, kami sepakat untuk menomorsatukan persoalan pangan, sambil mengatasi isu lain yang berkaitan dengan terbatasnya persediaan misalnya produktivitas, teknologi, bibit, pupuk, dan lain sebagainya. Termasuk isu konektivitas, karena bisa jadi, persediaan cukup tapi tak terhubung dengan sisi permintaan. Ada banyak contoh, misalnya terkait isu kemanusiaan, atau pembatasan ekspor. Kebijakan tentang perdagangan sangat erat kaitannya dengan volatilitas dan timbulnya spekulasi.

CR: Bagaimana anda melihat isu kelangkaan pangan di agenda G20?
SM: Sudah muncul, baru saja diadakan pertemuan antar menteri pertanian negara-negara G20. Jangan lupa bahwa awalnya G20 hanya membahas isu keuangan –dulu saya adalah menteri keuangan jadi saya ingat betul- dan yang menjadi agenda pembahasan ketika itu adalah soal makro dan kebijakan ekonomi, khususnya ketika krisis keuangan 2008. Sejak saat itulah, sejumlah isu lain pun masuk dalam agenda G20, termasuk soal pangan.

CR: Menurut anda, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pangan?
SM: Pertama, ini bukan hanya tentang kelangkaan tapi juga volatilitas. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan persediaan, melalui produktivitas, teknologi. Kedua, mengurangi volatilitas dan spekulasi melalui informasi yang transparan. Hal ini yang dilakukan Bank Dunia sekarang, yaitu dengan menyediakan informasi tentang dimana dan berapa jumlah produksi, dan berapa besar permintaan, sehingga tak ada lagi spekulasi. Juga menjaga resiko. Petani adalah kelompok yang paling rentan dalam hal ini. Mereka memproduksi pangan tapi tidak menikmati pendapatan atau hasil dari surplus harga pangan. Itu sebabnya banyak kebijakan soal ‘hedging and risk mechanism’ yang dibuat oleh Bank Dunia. Kami baru saja mengalokasikan 4 milyar dollar AS bagi negara-negara berkembang untuk pengelolaan resiko.

CR: Bisakah Bank Dunia menstabilkan harga pangan?
SM: Stabilisasi (harga) jelas menjadi satu hal yang sangat penting, memberikan perlindungan lebih baik kepada masyarakat miskin, karena merekalah yang paling rentan terhadap volatilitas pangan. Namun stabilisasi hanya dapat dicapai bila kita tahu benar berapa jumlah permintaan dan persediaan. Jadi tak ada elemen menebak-nebak, atau spekulasi, dan itu yang sedang kita upayakan melalui negara-negara G20.

CR: Kelangkaan air. Apakah itu juga menjadi masalah besar?
SM: Jelas, masalah yang sangat besar dimana pun , baik di Timur Tengah maupun di Asia. Saya pikir ini berhubungan dengan gaya hidup dan trend urbanisasi. Semakin banyak negara yang ekonominya didorong oleh aktivitas perkotaan. Ada perpindahan populasi yang signifikan dari desa ke kota, contohnya di China. Negara ini akan menghadapi masalah besar dalam hal urbanisasi. Akhirnya, kelangkaan air akan menjadi masalah besar, air menjadi mahal, dan langka.

CR: Apa yang paling anda butuhkan untuk mendapatkan hasil maksimal dari semua rencana yang telah anda susun?
SM: Saat ini, mayoritas anggota Bank Dunia adalah negara-negara berpendapatan menengah. Mereka adalah negara yang berhasil melalui proses pembangunan dari negara berpendapatan rendah menjadi menengah. Namun ini tidak menjamin mereka bisa naik menjadi negara berpendapatan tinggi dan maju. Banyak negara tetap menjadi negara berpendapatan menengah, itu yang kami sebut ‘middle-income trap’.
Bank Dunia merasa yakin bisa menangani persoalan tadi, karena kami adalah bank pengetahuan. Kami tidak hanya meminjamkan uang tapi menyediakan ilmu, bantuan teknis, pelajaran dari kasus di banyak negara.
Di sisi lain Bank Dunia juga berurusan dengan negara yang sedang berkonflik dan rapuh (dari segi keamanan). Kami baru saja merilis Laporan tentang Pembangunan Dunia tahun ini (World Development Report) yang isinya adalah panduan tentang cara agar lembaga kami bisa lebih bermanfaat bagi negara-negara yang sedang berkonflik tersebut.

CR: World Bank juga akan memilih presidennya yang baru?
SM: Ya, tahun depan.

CR: Apakah anda menjadi kandidatnya?
SM: Well, para pemegang saham telah membuat keputusan dalam hal ini, seperti juga di IMF. Saat ini, komposisi para pemegang saham di Bank Dunia, dan IMF, semakin mencerminkan suara dari negara-negara berkembang.

CR: Jadi seorang Amerika akan memimpin Bank Dunia dan non Amerika akan memimpin IMF, apakah ini akan berubah?
SM: Para pemegang saham berpendapat bahwa kami akan mencoba membuat mekanisme pemilihan presiden Bank Dunia berdasarkan prestasi, bukan dari negara mana ia berasal.

CR: Jadi, seorang Amerika bisa menjadi pemimpin IMF, dan anda bisa menjadi pemimpin Bank Dunia?
SM: Bisa jadi, semuanya terserah keputusan pemegang saham.

CR: Tapi anda setuju dengan perubahan ini kan?
SM: Ini bukan soal setuju atau tidak, tapi demi kinerja Bank Dunia, juga IMF, yang efektif dan sah. Sebagai lembaga multilateral, apa pun keputusan yang diambil harus bisa diterima oleh seluruh anggotanya. Mereka menjadi elemen penting dalam hal legitimasi.

CR: Kita beralih ke isu global. Apakah kita kalah dalam mengatasi isu mempersempit celah antara si kaya dan si miskin?
SM: Banyak negara berpendapatan menengah maju pesat saat ini, bahkan mereka telah berhasil keluar dari krisis keuangan 2008. Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa mereka bisa mengatasi isu pemerataan pembangunan yang adil.
Apakah kita kalah dalam hal ini? Saya rasa tidak. Ada kemajuan, namun ada pula kemunduran, yang salah satunya dipicu oleh faktor eksternal. Kita baru saja bicara soal pangan. Volatilitas pangan membuat 44 juta orang di seluruh dunia, selama setahun terakhir, kembali miskin. Dan terkait ketersediaan pangan, masih ada 1 milyar orang di dunia yang kelaparan.

CR: Satu milyar orang? Berarti seperenam dari populasi dunia?
SM: Ya, seperenam dari populasi dunia. Dulu, negara-negara maju diserahi tanggung jawab untuk mengatasi persoalan ini, dengan ODA (Official Development Assistance), misalnya. Namun sekarang, negara-negara berkembang pun punya tanggung jawab yang sama dalam hal mengatasi isu kemiskinan, kelaparan, pangan.
Sudah saatnya untuk mendefinisikan ulang istilah ‘multilateralisme’, karena akhirnya kita saling berhubungan satu sama lain, akibat globalisasi. Termasuk dalam isu keuangan. Krisis di Amerika Serikat yang dipicu oleh Lehman Brothers juga berdampak pada Indonesia. Sehingga akhirnya, hubungan antar negara harus ditingkatkan, pola kerjasama harus ditata ulang, dan didefinisikan kembali.

CR: Apakah itu juga berarti kepemimpinan dalam soal keuangan berubah akibat krisis ekonomi ?
SM: Apa yang saat ini terjadi di Eropa dan Amerika Serikat secara nyata membuka mata kita bahwa negara yang paling maju sekalipun, jika tidak bisa menerapkan kebijakan yang tepat dan hati-hati, akan jatuh ke permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang.

CR: Yaitu punya banyak utang dan tak mampu bayar?
SM: Terlalu banyak utang, dan kebijakan yang menyakitkan sekalipun, harus diambil agar situasi bisa kembali pulih. Ini adalah isu yang sangat penting, dan menjadi pelajaran di banyak negara. Kita tidak boleh cepat puas, di tingkat mana pun ekonomi negara kita berada.

CR: Tidak boleh puas?
SM: Mencapai tingkatan negara maju, bukan berarti terbebas dari masalah. Ada banyak persoalan yang mesti dihadapi, seperti perubahan demografi, utang publik – seperti yang sekarang terjadi di Jepang, Amerika Serikat, Yunani, dan sejumlah negara Eropa. Pada akhirnya, semua ini adalah proses belajar. Pencapaian dalam hal pembangunan bukanlah proses satu kali selesai, namun kerja keras yang harus dilakukan terus menerus.

CR: Saya dengar cerita menarik tentang anda, anda bicara dengan sejumlah pejabat yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri, bahwa anda tidak mampu – dengan pendapatan anda saat itu – menyekolahkan anak anda ke luar negeri. Secara tidak langsung anda mau mengatakan bahwa telah terjadi praktek korupsi. Apakah cerita ini betul?
SM: Ya. Ketika pertama kali saya menerima tugas sebagai Menteri Keuangan, satu hal yang saya katakan pada kolega dan staf saya adalah saya tidak menerima gaji besar, dan saya tak akan membiarkan diri saya “dipermalukan” oleh masyarakat karena saya bekerja di satu lembaga yang basah, yaitu kementerian keuangan. Itu sebabnya saya melakukan pembersihan, saya harus punya martabat, dan posisi yang terhormat. Saya pikir membentuk sebuah lembaga yang dihormati dan dipercaya oleh rakyat sangatlah penting.

CR: Apa yang ada lakukan untuk mencapainya?
SM: Seperti yang telah saya katakan, di masa lalu Indonesia sangat tertutup. Kementerian Keuangan menikmati kekuasaan untuk mengelola keuangan negara tanpa transparansi, tanpa audit independen, dan itu semua melahirkan korupsi. Ketika saya menjabat saya katakan, mulai sekarang, saya akan membuka semuanya.

CR: Tranparansi?
SM: Transparansi publik sekaligus meningkatkan kompetensi sumber daya manusianya. Karena meskipun transparan tapi tak kompeten, tidak baik.

CR: Anda berani keluar dari sistem sehingga harus berkonflik dengan salah satu pendukung presiden yang terbesar dan terkaya. Benarkah?
SM: (Mengangguk) Benar. Well, perjuangan melawan korupsi jelas tidak berakhir menyenangkan untuk semua orang.

CR: Kekuatan apa yang anda miliki sehingga berani melakukan itu?
SM: Cinta yang besar pada negara saya. Dan keyakinan bahwa kita bisa melakukan sesuatu yang baik untuk negara kita.

CR: Tapi itu seperti pertarungan antara David vs Goliath?
SM: Tidak juga. Ide (tentang melawan korupsi) sangat kuat. Masyarakat secara diam-diam atau terang-terangan, juga mendukung ide membangun Indonesia yang bersih. Kita harus berjuang.

CR: Apa pelajaran yang anda ambil dari pengalaman tersebut?
SM: Saya yakin bahwa apa yang telah saya lakukan merupakan inspirasi, dan sumbangan yang berarti dalam proses perubahan di Indonesia. Berani melakukan perubahan, dan melawan korupsi adalah sesuatu yang membuat kita lebih dihargai. Fakta bahwa anda tahu (tentang apa yang terjadi pada SMI) membuktikan bahwa apa yang saya lakukan telah tersebar luas. Bagi saya ini adalah sebuah prestasi, dan saya ingin menggunakan pengalaman berharga tersebut untuk 74 negara yang sekarang menjadi tanggung jawab saya di Bank Dunia.
Dan saya percaya, pengalaman ini harus dibagikan ke banyak orang. Saya tidak punya ambisi kekuasaan, yang saya pegang adalah nilai yang diajarkan orang tua saya, yaitu melakukan yang terbaik untuk negara. Dan saya rasa nilai ini juga dianut oleh banyak orang Indonesia.(*)




 
   Berita Terkait > Sri Mulyani
 
  Masih Banyak PR, Sri Mulyani Jangan Lupa Diri
  Ani-Kuntoro Jadi Menteri? Ternyata Trisakti cuma Dagangan Murahan
  Sri Mulyani Masuk Daftar Wanita Paling Berpengaruh Versi Forbes
  Sulit Bebaskan Sri Mulyani dari Skandal Century
  Langkah Sri Mulyani Bakal Terganjal Century
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2