JAKARTA, Berita HUKUM - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat memberikan penjelasan soal pernyataan ahli yang dihadirkan Tim Pembela Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yakni Guru Besar Ilmu Konstitusi Universitas Pakuan, Andi Muhammad Asrun.
Adapun Asrun awalnya mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah taat asas konstitusi tentang penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres).
"Penetapan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka berdasarkan pada putusan MK. Oleh karena itu, saya kira KPU telah menerapkan taat asas konstitusi," kata Asrun dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) hari ini di Gedung MK, Kamis, 4 April 2024.
Asrun menjelaskan ketaatan terhadap norma hukum harus totalitas dan tidak bisa parsial. Ketaatan itu, katanya, juga harus ditujukan kepada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, termasuk MK.
Mengenai hubungan sikap tersebut dengan Pemilu 2024, Asrun mengatakan KPU telah melaksanakan rasa taat terhadap norma hukum.
"KPU telah melaksanakan rasa taat terhadap norma hukum, yaitu putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang kemudian diperkuat oleh putusan MK Nomor 1 Pasal 1," ujarnya.
Putusan Nomor 90 yang dimaksud Asrun adalah putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat pencalonan capres dan cawapres.
Atas ketaatan terhadap putusan MK, kata Asrun, KPU sudah menerapkan taat asas konstitusi tentang penetapan Gibran sebagai cawapres dan tidak benar dihukum atas dasar pelanggaran etika.
"Oleh karena itu, sangat benar bahwa KPU telah taat hukum dan tidak benar KPU dihukum atas dasar pelanggaran etika karena melaksanakan putusan MK," katanya.
Selain itu, Asrun menegaskan, dalam proses Pemilu 2024, mulai dari penetapan nomor urut pasangan calon hingga acara debat capres-cawapres yang diselenggarakan KPU, tidak ada protes atau sikap walk out dari dua pasangan calon yang menggugat pemilu.
"Bahwa jika kemudian terjadi ada proses yang disebut sebagai pelanggaran pemilu maka seharusnya ditempuh melalui jalur Bawaslu," katanya.
Hakim MK jelaskan ini ke Asrun
Hakim Konstitusi Arief Hidayat kemudian memberikan penjelasan atas pernyataan Asrun yang menyinggung Putusan 90 tersebut.
"Pak Asrun, saya tidak bertanya, tapi ini didengar oleh publik di seluruh Indonesia dan memberikan pelajaran kepada ahli hukum di Indonesia yang muda-muda, supaya kita kalau bicara clear," kata Arief di Gedung MK, Jakarta pada Kamis, 4 April 2024.
Arief lalu mengutip pernyataan Asrun yang menyebutkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres bersifat self executing atau dapat dilaksanakan langsung.
Arief menjelaskan, putusan MK sebenarnya ada yang bersifat self executing dan non-self executing. Arief menyebut tidak masalah jika Asrun mengkategorikan Putusan MK 90 sebagai self executing.
"Itu tidak masalah karena guru besar bisa berpendapat, tapi siapa tahu 10 tahun kemudian malah jadi teori baru, jadi tidak masalah," ucap Arief.
Namun, kata dia, Putusan 90 tidak bisa disamakan dengan Putusan MK 102/PUU-VI/2009. Sebagai informasi, Putusan 102 dimohonkan salah satunya Refly Harun dan Maheswara Prabandono.
Keduanya saat itu mengajukan judical review terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua pasal tersebut mengatur syarat menggunakan hak pilih pada saat pemungutan suara, yakni terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Putusan MK yang kala itu dipimpin oleh Mahfud Md memutuskan aturan tersebut konstitusional bersyarat. Sehingga, lanjut Arief, masyarakat bisa mencoblos di luar Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan menggunakan identitas, seperti KTP atau paspor.
"Putusan Mahkamah nomor 102 itu diputuskan pada sore hari, malam hari KPU mengubah PKPU-nya," ucap Arief.
Sebab, kata dia, pada waktu itu belum ada putusan MK yang mengatakan KPU mengubah atau membuat Peraturan KPU harus berkonsultasi ke DPR.
Menurut Arief, pernyataan Asrun bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bersifat self executing tidak masalah karena guru besar bebas berpendapat. Akan tetapi, dia mengingatkan, dalam hukum beracara harus presisi dan cermat.
"Jadi, saya tidak bertanya, tapi kita supaya semuanya clear, karena kita berhukum harus presisi, harus cermat. Terima kasih, Pak Asrun. Kita sama-sama guru besar tidak boleh saling mendahului, kayak bis kota," ucap Arief.
Diketahui, Tim Pembela Prabowo-Gibran selaku Pihak Terkait menghadirkan delapan orang ahli dan enam orang saksi dalam sidang lanjutan PHPU Pilpres 2024.
Ahli yang dihadirkan adalah Guru Besar Ilmu Konstitusi Universitas Pakuan Andi Muhammad Asrun, pakar hukum Abdul Khair Ramadhan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Aminuddin Ilmar, pakar hukum tata negara Margarito Kamis, Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN Khalilul Khairi.
Selain itu, ada pula Guru Besar Hukum Pidana UGM dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Pendiri Lembaga Survei Cyrus Network Hasan Hasbi, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari.
Sedangkan saksi yang dihadirkan adalah Gani Muhammad, Andi Bataralifu, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Suprianto, Abdul Wahid, dan Ace Hasan Syadzily.(Tempo/bh/sya) |