JAKARTA, Berita HUKUM - Menurunnya jumlah hukuman mati secara global pada 2017 harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperlakukan moratorium hukuman mati di sisa waktu yang tersedia tahun 2018 ini.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam konferensi pers bertajuk "Menuju Moratorium Hukuman Mati di Indonesia", di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Rabu (10/10).
Usman meyakini, pemberlakukan moratorium hukuman mati di Indonesia adalah salah satu bentuk sikap Indonesia diantara negara-negara di dunia dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Ia menjelaskan, lebih dari dua pertiga negara-negara di dunia kini telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang atau praktik. Sementara, kata Usman, terpidana mati sering kali mengalami perlakuan tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat di dalam tahanan.
"Kami tidak menolak penghukuman pelaku-pelaku kriminal yang memang seharusnya
dihukum atas perbuatan mereka. Yang kami tolak adalah penggunaan hukuman mati yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Apapun kejahatannya, seseorang tidak boleh dihukum dalam kondisi yang tak manusiawi di penjara, apalagi untuk kemudian dirampas hak hidupnya," kata Usman.
Diketahui, setiap tanggal 10 Oktober seluruh negara di dunia memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Amnesty International Indonesia memperingati hari tersebut dengan menggelar aksi ceremonial yang menggambarkan eksekusi mati.
"Momen Hari Anti Hukuman Mati Sedunia ini harus kita gunakan untuk mengingatkan otoritas bahwa terpidana mati, sama seperti para tahanan untuk kejahatan lainnya, harus diperlakukan secara manusiawi, dalam kondisi yang sesuai dengan standar hukum internasional. Momen ini juga harus digunakan sebagai refleksi menuju moratorium hukuman mati di Indonesia, sebuah langkah awal menuju penghapusan menyeluruh hukuman mati dalam undang-undang dan praktik di Indonesia," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Amnesty International Kumi Naidoo dalam kesempatan tersebut
menjelaskan bahwa banyak orang yang dihukum mati memiliki latar belakang dari kaum marjinal yang tak punya akses ke bantuan hukum yang kompeten dan tak tahu cara membela diri.
Ia mengambil contoh kasus mantan terpidana mati asal Nias, Sumatera Utara, yang bernama Yusman Telaumbanua. Pengacara Yusman, yang ditunjuk negara, justru meminta kliennya dihukum mati dan luput memberitahukan hak Yusman untuk mengajukan banding.
"Kasus Yusman adalah kombinasi mematikan antara hukuman mati dan kemiskinan. Ia beruntung masih bisa lolos dari eksekusi. Tapi, kisah seperti ini tak akan menimpa orang kaya," ujar Kumi.
Yusman beruntung karena mendapat pengacara baru dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pengacara-pengacara dari lembaga tersebut menunjukkan sistem peradilan pada kasus Yusman terbukti tidak adil dan memihak, sekaligus menjadi bukti adanya persoalan serius pada praktik hukuman mati di Indonesia.
Sekedar informasi, dalam Laporan Amnesty International yang berjudul "Hukuman dan Eksekusi Mati 2017" mengungkapkan bahwa jumlah eksekusi secara global terus menurun dari 2016 hingga 2017, dari angka 1.032 ke 993.
Hal ini menunjukkan adanya penurunan 4 persen dan 39 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015, periode terjadinya eksekusi mati untuk 1.643 orang di seluruh dunia, angka tertinggi yang berhasil di dokumentasikan Amnesty International sejak 1989.(bh/amp) |