Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
EkBis    
Freeport
Divestasi Freeport 51% Rampung, Untung atau Buntung?
2018-12-22 19:08:52
 

Presiden Indonesia Joko Widodo (tengah L) berjabat tangan dengan Kepala Eksekutif Freeport-McMoRan Richard Adkerson (tengah R) setelah konferensi pers di istana kepresidenan di Jakarta,(Foto: twitter)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI/Freeport) akhirnya rampung juga. Ada yang senang, namun banyak pula cibiran.

Jumat lalu (21/12), Presiden Joko Widodo terlihat sumringah. Rupanya, dia kedatangan tamu istimewa, yakni CEO Freeport McMoran Richard Adkerson. Didampingi sejumlah menteri dan Dirut PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin, presiden tak bisa menyembunyikan rasa bangganya.

"Hari ini momen bersejarah, setelah Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1973. Dan, kepemilikan mayoritas ini kita gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," ujar Jokowi saat konferensi di Istana Negara, Jakarta.

Ya, Jokowi pantas bangga dan merasa lega. Proses divestasi Freeport ini, memang selalu alot. Negosiasinya cukup panjang dan pasti melelahkan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut perlu 26 tahun untuk mengembalikan Freeport ke pangkuan ibu pertiwi.

Era Soekarno, misalnya, Freeport memulai kontrak dengan East Borneo Company. Setelahnya, ada revisi kontrak hasil tambang sebesar 60% untuk pemerintah. Freeport pun menjadi kesulitan untuk beroperasi di Papua karena kewajiban 60% itu.

Masa Soeharto, muncul Kontrak Karya (KK) I yang disebut menjadi pintu masuk bagi Freeport untuk mengeduk emas di Papua. Pada 1991, muncul KK II yang mewajibkan fivestasi 51% saham Freeport. Hal itu diteruskan dengan PP 20/1994 yang wajibkan PMA (Pemilik Modal Asing) untuk divestasi 5%. Mereka juga diizinkan beroperasi hingga 30 tahun.

Era Megawati mengeluarkan PP 45/2003 terkait perincian royalti tambang. Dalam beleid ini, jasa teknologi atau konsultasi eksplorasi mineral dimasukkan ke dalam sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sepuluh tahun pemerintahan SBY, lahir sejumlah PP terkait Freeport. Pertama, PP 23/2010 tentang PMA divestasi saham sebanyak 20%. Kemudian angka dinaikkan melalui PP 24/2012. Beleid ini menyebut, divestasi wajib dilakukan Freeport secara bertahap hingga 51% menjadi milik Indonesia.

Akan tetapi, lewat PP 77/2014, kewajiban divestasi PMA yang melakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah (seperti Freeport) dan penambangan terbuka, hanya menjadi sebesar 30 persen saham.

Kini, era Jokowi, Indonesia resmi menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia. Transaksi akuisisi dilakukan Inalum selaku holding BUMN Pertambangan dengan Freeport McMoRan (FCX) dan Rio Tinto. Nilai transaksi mencapai US$3,85 miliar, atau setara Rp55,8 triliun.

Duit Inalum untuk memborong saham Freeport berasal dari penjualan surat utang global di pasar Singapura senilai US$4 miliar.

Dengan kesepakatan ini, apa benar pemerintah Indonesia punya kendali penuh atas cadangan terbukti dan terkira di lapangan Freeport yang kabarnya bernilai Rp2.400 triliun. Terdiri dari 38,6 miliar pound tembaga, 33,8 juta ounce emas, dan 156,2 juta ounce perak.

Namun demikian, divestasi Freeport yang berhasil dirampungkan di era Jokowi ini, justru mendapat kritik keras dari ekonom senior UI, Faisal Basri.

Faisal justru sedih dengan langkah divestasi ini. Alasannya, sejak awal, Freeport mengelola tambang emas di wilayah Indonesia. Kenapa, pemerintah Indonesia harus membeli tambang emas di wilayahnya sendiri. "Ini (tambang emas) Freeport punya Indonesia, nih, dibeli. Kan goblok," kata Faisal di Jakarta, Jumat (21/12/2018).

Kini, urusan divestasi 51% saham Freeport mulai dikait-kaitkan dengan politik. Di mana, keberhasilan mendivestasi 51% saham Freeport ditiupkan seolah-olah sukses pemerintah. Bahkan ada yang mengkaitkannya dengan kedaulatan Indonesia.

"Katanya gara-gara 51 persen Indonesia berdaulat. Kedaulatan itu bukan ditentukan persentase. Indonesia tetap berdaulat terhadap Freeport. Karena apa? Aturan-aturan terkait kita buat, royalti berapa, pajak berapa, itu kedaulatan," tegasnya.

Faisal juga menyindir sumber pendanaan Inalum untuk membeli saham Freeport dari penerbitan obligasi global (global bond) dengan nilai yang sangat besar. Totalnya mencapai US$4 miliar atau sekitar Rp55,8 triliun.

"Kalau pinjam di global bond, maka itu pinjam ke pasar. Pinjam ke pasar itu tidak ada negosiasi macam-macam. Kalau asing itu punya sentimen negatif terhadap Indonesia, dia jual besoknya. Harganya ancur. Mampus kita," jelas Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas.

Sebelumnya, pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais mengaku tak percaya dengan divestasi Freeport. "Seolah-olah kita sudah senang karena Freeport kembali ke tangan Ibu Pertiwi. Buat saya, itu hanya, mohon maaf, bohong-bohongan, karena operasional masih mereka, semuanya masih mereka, gitu," kata Amien.

Amien meminta pemerintah untuk menutup PTFI. Alasannya, PTFI melakukan sejumlah kejahatan, salah satunya 'ngemplang' pajak. Pada 1996, Amien pernah menginap di Tembagapura. Di sana, dia menemui sebuah wilayah dengan kehidupan serba mewah. Amien mendapat informasi dari para insinyur yang menyatakan Freeport memasukkan alat berat bebas pajak.

Kritik pedas Faisal Basri maupun Amien Rais, rasa-rasanya kok masuk akal. Bagaimana mungkin negara yang seharusnya mendapat manfaat dari kekayaan alam malah harus menebusnya dari tangan asing.

Apalagi, Desember ini, Freeport berencana menutup tambang di atas tanah atau open pit. Dengan alasan cadangan produk tambangnya sudah ludes. "Open pit akhir tahun ini selesai," kata Tony Wenas, Presiden Direktur PTFI di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/12).

Mau tak mau, Freeport harus membuka tambang baru yang kemungkinan dilakukan underground alias di bawah tanah. Ada kerugiannya karena biayanya lebih mahal dan produksinya turun. "Tahun depan pasti akan berkurang karena open pit selesai. Tapi 2020 naik lagi. 2021 naik lagi. Angkanya lupa saya," jelas Tony.

Nah, kalau sudah begitu, tahun depan jangan berharap untung dari divestasi Freeport ya.(ip/inilah/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Freeport
 
  Mulyanto: Isu Perpanjangan Izin PTFI Perlu Dibahas oleh Capres-Cawapres di Masa Kampanye
  Legislator Nilai Perpanjangan Ijin Ekspor Konsentrat Tembaga Freeport Indonesia Akan Jadi Preseden Buruk
  Ridwan Hisyam Nilai Pembangunan Smelter Freeport Hanya Akal-Akalan Semata
  Wacana Pembentukan Pansus Freeport Mulai Mengemuka
  Wahh, Sudirman Said Ungkap Pertemuan Rahasia Jokowi dan Bos Freeport terkait Perpanjangan Izin
 
ads1

  Berita Utama
KPK "Kejar" Kaesang Pangarep soal Dugaan Gratifikasi 'Jet Pribadi'

Pasangan Cagub-Cawagub PDI-P Pramono Anung dan Rano Karno Resmi Daftar Pilgub Jakarta 2024

Tanggapi Pernyataan Jokowi, Mahfud: Enggak Biasa...

Menteri Sakti Wahyu Trenggono Disinyalir Punya Peran Penting dalam Dugaan Proyek Fiktif PT Telkom, FPN Desak KPK Usut

 

ads2

  Berita Terkini
 
Dugaan Penipuan Terhadap Mantan Direktur PT. LDS, Eksepsi Kuasa Hukum: Bukan Perkara Pidana Ternyata Perdata

KPK "Kejar" Kaesang Pangarep soal Dugaan Gratifikasi 'Jet Pribadi'

Pasangan Cagub-Cawagub PDI-P Pramono Anung dan Rano Karno Resmi Daftar Pilgub Jakarta 2024

Ditanya soal 'Raja Jawa' yang Disinggung Bahlil, Begini Respons Sri Sultan HB X

Munas XI Partai Golkar Digugat ke PN Jakarta Barat,Begini Nasib Bahlil Sebagai Ketum Baru?

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2