JAKARTA, Berita HUKUM - Di tengah tarikan nostalgia masyarakat untuk kembali ke era hegemonik, kehadiran dan peran serta Muhammadiyah dalam urusan keIndonesiaan adalah untuk menjaga kewarasan, objektivitas, keadilan, dan menjaga nalar pikir. Oleh karena itu Muhammadiyah selalu menyuarakan suara moderat untuk jaga keseimbangan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam sambutan di acara Launching Universitas Siber Muhammadiyah (SiberMu) pada, Rabu (6/10) yang digelar blended, di Kantor PP Muhammadiyah Jl. Cik Ditiro No. 23 Yogyakarta.
Haedar menjelaskan, Indonesia jika diletakkan secara sibernetika seharusnya berada di dalam posisi integrasi. Sibernetik sebagai ilmu sosial, khususnya ekonomi yang berbicara tentang kehidupan manusia yang saling terkait.
"Maksudnya kita tidak boleh meletakkan aspek-aspek kehidupan itu saling mencengkram, politik menghancurkan ekonomi atau sebaliknya ekonomi menghancurkan dan mendominasi politik yang melahirkan oligarki," tuturnya.
Menurutnya, keduanya tidak boleh saling mendominasi melainkan harus saling beradaptasi, integrasi, dan punya tujuan untuk kesejahteraan hidup manusia baik rohani maupun jasmani. Oleh karena itu Indonesia jika diletakkan dalam sibernetika harus berada di posisi integrasi.
Membangun ekonomi dan politik dimaksudkan untuk menuju satu kesatuan yaitu agar Indonesia selamat. Belajar dari dua titik sejarah Indonesia yang hegemonic, di era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama, Haedar menyebut Indonesia terlalu Hegelian yang mengedepankan dan serba ide, serta gagasan, sehingga 'keteteran' mengurus rakyatnya.
"Sebaliknya muncul Orde Baru, lalu paradigmanya serba ekonomi di atas paradigma developmentalisme. Tapi akhirnya juga pemerataan tidak terjadi, kemudian terjadi konglomerasi itu lahir di zaman Orde Baru," ucap Haedar.
Menurutnya zaman reformasi harusnya belajar dari sejarah itu, akan tetapi masih ada yang ingin kembali ke zaman tersebut. Di tengah tarikan nostalgia masyarakat yang ingin kembali ke era hegemonik, Muhammadiyah diminta hadir untuk menjaga kewarasan dan objektivitas, serta menyuarakan suara moderat.
"Inilah sesungguhnya kenapa Muhammadiyah selalu menyuarakan suara-suara yang moderat dalam berbangsa, bernegara, dan beragama agar kita tidak terjebak pada radikalisme, ekstrimisme apapun," tegas Haedar.
Menyinggung tentang usaha memberantas radikalisme dan ekstrimisme, Haedar menyebut kelompok tersebut baik secara sadar dan tidak sadar terjebak di posisi radikal ekstrim yang lain, sebab tidak mengambil posisi moderat dalam mengentaskan masalah radikalisme maupun ekstrimisme.
Radikalisme tersebut yang menjangkiti dalam bidang politik misalnya menyebut demokrasi hanya untuk demokrasi, dan lupa aspek demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kemudian ekonomi hanya fisik, lupa pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Apa lagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, serta Persatuan. Sekarang persatuan kita diambang problem besar sebenarnya ketika setiap kelompok dan golongan itu selalu ingin merebut hegemoni yang paling diyakini oleh dirinya. Lupa pada kepentingan kita bersatu dan bersama," ungkapnya.
Haedar menyarankan, perbaikan dalam urusan kebangsaan harus dimulai dari pendidikan, lebih-lebih pendidikan tinggi. Pendidikan diharapkan bisa memajukan dan meluruskan yang bengkok dari Indonesia.(muhammadiyah/bh/sya) |