•Berkembang Demokrasi Korporasi dan Politik Munafik
JAKARTA-Demokrasi yang kini dikembangkan penguasa adalah demokrasi korporasi karena dananya berasal dari sumber-sumber ilegal. Sedangkan prilaku politik yang ditunjukkan Parpol adalah politik munafik. Hukum kita mestinya dapat menganulir Kongres Parpol yang menggunakan dana APBN secara tidak sah. Bahkan hukum harus bisa membatalkan kemenangan pemilu Parpol yang mengorupsi APBN.
Demikian siaran pers yang diterima redaksi beritahukum.com, yang merupakan isi diskusi bertema ‘Bahaya Demokrasi Uang dan Hipokrasi Partai Poltik’ di Jakarta, Selasa (2/8). Hadir sebagai pembicara advokat Iskandar Sonhaji, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M. Massardi.
Menurut Noorsy, demokrasi korporasi ditunjukkan dengan tidak jelasnya sumber dana Parpol. Sudah bukan rahasia lagi bila Parpol meraup dana dari sumber-sumber illegal. Antara lain dari perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus terbaru soal ini adalah terkuaknya korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang yang pendanaannya diambil dari APBN.
Dalam pelariannya, Nazarudin mengatakan 20 juta dolar AS dana talangan pembangunan itu mengalir ke Kongres PD di Bandung yang mengantarkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum. Pada kasus ini, melibatkan dua BUMN, yaitu Cipta Karya dan Adhi Karya. “Hal serupa juga terjadi di swasta, terutama perusahaan migas. Tiap perusahaan sudah mengalokasikan biaya politik. Itulah sebabnya cost recovery dari waktu ke waktu terus naik jumlahnya,” papar Noorsy.
Pada konteks ini, Ray Rangkuti melontarkan pertanyaan kemungkinan membubarkan Parpol yang menggunakan dana APBN secara tidak sah. Namun pertanyaan itu akhirnya dimentahkannya sendiri, karena UU Parpol, bahkan termasuk revisinya, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung sanksi bagi Parpol yang mengorupsi APBN untuk operasionalnya. UU hanya menyebutkan, Parpol hanya bisa dibubarkan jika ideologinya bertentangan dengan Pancasila atau berideologi komunis atau atheis.
Meski demikian, Ray mengunggat keabsahan sebuah kongres Parpol yang menggunakan dana APBN secara tidak sah. Hukum negara memungkinkan pembatalan kongres yang dimenangi kandidat tertentu, bila yang bersangkutan terbukti menggunakan dana APBN secara tidak sah. Bahkan pengadilan bisa membatalkan kemenangan pemilu Parpol tersebut.
Noorsy menyebutkan setiap tahun peluang korupsi APBN untuk Parpol selalu terbuka lebar. Pasal 8 UU No.17/2003 yang disponsori oleh Bank Dunia, menyebutkan Menteri Keuangan adalah pelaksana kuasa Presiden dalam hal keuangan negara. Wewenang ini meliputi perencanaan, penerimaan, pembelanjaan, dan pemeriksaan.
“Wewenang yang bertumpuk-tumpuk dan terpusat di satu tangan ini membuat peluang terjadinya korupsi APBN untuk Parpol sangat besar. Itulah sebabnya para petahana (incumbent) tidak pernah khawatir saat mereka harus bertarung untuk memperpanjang kekuasaannya. Pasalnya, mereka punya sumber dana yang sangat besar dari APBN. Belum lagi sumber dana illegal dari dunia usaha, baik swasta maupun BUMN,” paparnya.
Sementara Adhie M. Massardi menyatakan, ulah yang dilakukan Nazarudin adalah ulah oknum, Partai Demokrat terkesan cuci tangan dengan mengatakan biarlah persoalannya ditangani negara. Ia mengingatkan, waktu Kongres Bandung berlangsung, posisi Anas adalah Ketua Fraksi sedangkan Nazarudin adala wakilnya.
Amat sulit diterima akal, lanjut dia, kalau ulah Ketua dan Wakil Ketua Fraksi itu tidak diketahui SBY selaku Ketua Dewan Pembina. Apalagi, di awal “nyanyiannya”, Nazaruddin menyebutkan dana itu juga mengalir ke Andi Malarengeng dan Sekjen Edhie Baskoro alias Ibas yang juga anak kandung SBY.
“Tidak bisa tidak, apa yang dilakukan Nazaruddin dan Anas pasti diketahui Partai. Sebagai Ketua Dewan Pembina dan Dewan Penasehat, mustahil jika SBY tidak tahu. Kalau pun dia tidak tahu, lalu apa saja yang dilakukannya selama ini. Inilah yang disebut kemunafikan politik,” ujar Adhie. (nas)
|