JAKARTA, Berita HUKUM -Industri rokok merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir. Rokok yang terbuat dari tembakau memiliki rantai industri yang sangatlah panjang, karena tidak semata hanya melibatkan pabrikan rokok saja, dari buruh tani rokok, karyawan pabrik rokok, pedagang asongan rokok, warung rokok di desa-desa, semuanya adalah rakyat yang membutuhkan nafkah.
Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono menilai rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok 10,04 Persen mulai 1 Januari 2018 amat sangat merugikan masyarakat, dan tidak memberi sumbangsih kenaikkan perekonomian nasional.
"Masyarakat tidak diberikan keuntungan lebih dengan cukai dinaikkan, malah menjadi korban biaya yang demikian mahal. Kena beban pembiayaan tapi pendapatan tetap. Judulnya pemerintah panik cari duit sebanyak-banyaknya, duit tak didapat justru dampaknya malah negatif pada ekonomi kita," papar Bambang di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, Kamis (19/10).
Bambang mengungkapkan, kerugian ekonomi jika cukai rokok dinaikkan adalah pada daya beli masyarakat yang menurun. Dia mengatakan daya beli bukan untuk membeli rokok saja tapi juga berakibat pada kebutuhan sehari-hari akan menurun, otomatis pertumbuhan ekonomi akan lebih menurun lagi. Tidak hanya itu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga dikorbankan karena kenaikan cukai rokok.
"20 juta lebih UMKM kita penjual rokok, karena cukai dinaikkan, itu membuat mereka tidak mampu 'kulakan', beli terus menjual. Karena terlalu mahalnya harga rokok, dan ini akan mematikan UMKM-UMKM kita yang secara riel mereka sebenarnya topang tonggak dari pada pertumbuhan ekonomi kita, karena ekonomi kita ditopang oleh UMKM," jelas Bambang.
Sikap pemerintah dinilai tidak rasional, karena terus meningkatkan target penerimaan cukai rokok dan tarif cukai, tapi di sisi lain juga menggembosi industri rokok. Peningkatan tarif cukai, kampanye tanpa rokok, dan aturan tentang kawasan tanpa rokok merupakan cara pemerintah menekan industri rokok.
Politisi dari F Gerindra ini beranggapan, kalau kementerian keuangan tidak cermat mengkaji dan menganalisa dampak kenaikan cukai rokok, maka negara juga akan kesulitan mendapatkan devisa terbesar nomor dua yaitu rokok. Menurut Bambang, sebesar 150 triliun devisa yang disumbangkan dari industri rokok. Lebih lanjut dia menyampaikan akan banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan jika industri rokok menurun akibat pajak cukai rokok yang dinaikan.
"Akan menggerus petani-petani tembakau, buruh tani tembakau ratusan ribu bahkan jutaan akan tergerus. Terus ditambah lagi karyawan pabrik-pabrik itu yang dia sangat menggantungkan nafkanya dari upah kerja," ujar Bambang.
Jika rencana itu jadi dilakukan, maka yang bakal terjadi adalah kolapsnya industri rokok yang berakibat pada perumahan dan PHK pekerja rokok. Bila itu terjadi, maka target pemerintah untuk cukai rokok tak bakal terpenuhi. Rencana penetapan tarif cukai tersebut dianggap tidak rasional dan membebani industri rokok. Terlebih perekonomian Indonesia saat ini belum menunjukkan gejala peningkatan signifikan.(eko,mp/DPR/bh/sya) |