JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana untuk memeriksa permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang diajukan oleh Astro Alfa Liecharlie. Dalam Perkara Nomor 179/PUU-XXII/2024 ini, Astro mempersoalkan pengaturan terkait produksi dan peredaran produk tembakau serta rokok elektronik dalam undang-undang tersebut yang dinilai lebih mengutamakan aspek ekonomi dibandingkan kesehatan masyarakat.
Dalam persidangan tersebut, Astro memaklumi UU Kesehatan tidak sepenuhnya melarang produksi dan peredaran produk tembakau dan/atau rokok elektronik karena adanya pertimbangan terkait ekonomi dan keuangan negara. Tetapi kepentingan ekonomi dan keuangan seharusnya tidak mengorbankan kesehatan masyarakat.
“Jika pertimbangannya memang demi ekonomi dan keuangan, seharusnya hanya produksi untuk ekspor saja yang diperbolehkan. Sedangkan peredaran, impor, dan pemakaian yang bukan saja merugikan kesehatan tapi juga merugikan ekonomi masyarakat dan negara seharusnya dilarang, karena jelas bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’,”ujarnya.
Astro juga menilai kebijakan yang ada saat ini bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”.
Sanksi Dinilai Tidak Proporsional
Kemudian, Astro juga menerangkan, sanksi yang dijatuhkan oleh Pasal 437 UU Kesehatan tersebut jauh lebih ringan dari sanksi yang dijatuhkan untuk peredaran dan pemakaian zat adiktif lainnya seperti narkotika.
“Padahal produk tembakau dan/atau rokok elektronik tidak hanya merugikan pemakainya saja tetapi juga orang lain di sekitarnya yang menjadi perokok pasif. Artinya produk tembakau dan/atau rokok elektronik lebih berbahaya dari narkotika golongan I, sehingga sanksi yang dijatuhkan seharusnya lebih berat atau setidaknya sama dengan sanksi terhadap peredaran dan pemakaian narkotika golongan I,” sebut Astro.
Mahkamah menyatakan Pasal 150 ayat (1) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap Orang dilarang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengedarkan zat adiktif berupa produk tembakau dan/atau rokok elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (3)”. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 150 ayat (2) UU Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap Orang yang memproduksi zat adiktif berupa produk tembakau dan/atau rokok elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (3) wajib mencantumkan peringatan Kesehatan berbentuk tulisan disertai gambar”.
“Menyatakan Pasal 151 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 yang berbunyi, “Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tandas Astro.
Menanggapi permohonan Pemohon Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan Pemohon untuk membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 yang dapat dilihat melalui laman mkri.id. “Tidak usah mencari-cari di toko buku atau tempat lain di laman MK dapat diunduh. Meskipun secara struktur permohonan sudah cukup mengikuti apa yang sudah diatur Pasal 10 PMK Nomor 2/2021. Ada baiknya juga melihat permohonan lain yang ada di laman MK. kira-kira sebuah permohonan yang baik itu seperti apa. Bisa juga membaca putusan MK mengenai duduk perkara,” ujar Arsul.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic mengatakan terkait dengan kedudukan hukum, Pemohon perlu mengelaborasi mengenai lima syarat kerugian konstitusional yang dialami. “Kemudian soal alasan permohonan masih belum kuat masih perlu elaborasi lebih jauh kalau bisa diperkuat dengan teori, doktrin atau perbandingan,” sebut Daniel.
Sebelum menutup persidangan Daniel menyebut Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas penyerahan perbaikan adalah Senin, 6 Januari 2024.(*/UtamiArgawati
/MK/bh/sya)
|