Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Penegakan Hukum
'Qua Vadis Penegakan Hukum terhadap Pelaku Pembakaran Hutan'
Tuesday 22 Sep 2015 19:58:53
 

Ilustrasi. Pembakaran Hutan.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.

BENCANA KABUT asap yang saat ini sering terjadi di beberapa tempat di Indonesia, salah satunya merupakan dampak dari aktifitas pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan secara secara sengaja oleh orang atau perusahaan tertentu. Hal ini menjadi bencana yang selalu berulang setiap tahunnya (khususnya pada musim kemarau) dan sampai saat ini belum dapat dicari solusinya secara cepat dan tepat. Akibat bencana kabut asap ini tidak saja dapat mengurangi kawasan hutan dan lahan subur, tetapi juga dapat menjadi salah satu ancaman kesehatan yang sangat berbahaya berupa infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) bagi masyarakat disekitarnya, terutama bagi anak-anak.

Bahkan akibat pembakaran hutan dan lahan secara sengaja ini, tidak hanya berdampak di daerah yang merupakan sentra-sentra terjadinya pembakaran hutan seperti Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan masih banyaknya propinsi lainnya, tetapi akibatnya sudah mulai dirasakan di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, bahkan sebagian Thailand.

Menurut Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI Ke-6), sekitar 70% (tujuh puluh persen) dari kebakaran hutan yang terjadi adalah akibat ulah manusia, adapun pelakunya adalah pengusaha. Pembiaran merupakan masalah yang menyebabkan kebakaran hutan menjadi ritual setiap tahunnya (khususnya pada musim kemarau). Setiap kemarau tiba, titik-titik api bertebaran disekitar Sumatra dan Kalimantan. Menurut Pusat Riset Kehutanan Internasional (Cifor), kerugian akibat kebakaran hutan mencapai US$.3,2 Miliard, atau setara dengan Rp.40 Trilyun. Kerugian terbesar terutama pada kesehatan masyarakat karena pertikel halus dan zat kimia seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida yang dilepaskan, apabila masuk ke dalam paru-paru untuk jangka waktu lama, zat ini dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru (Media Indonesia, Rabu, 16 September 2015).

Untuk merespon hal tersebut, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah merilis data bahwa 126 (seratus dua puluh enam) orang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan kasus dugaan pembakaran hutan dan kawasan lahan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Dari jumlah tersebut, terdapat 6 (enam) perusahaan perkebunan yang beroperasi di Sumatra Selatan terbukti melakukan pembakaran lahan dan mengakibatkan bencana asap, untuk kemudian dilakukan tindakan penetapan pemimpin beberapa perusahaan tersebut menjadi tersangka untuk kemudian segera ditahan.

Di Provinsi Riau, terdapat satu perusahaan ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing terdapat 3 (tiga) perusahaan yang membakar lahan (Media Indonesia, Rabu, 16 September 2015). Disisi lain, angin segar juga muncul dari putusan Mahkamah Agung (MA) pada 15 September 2015 lalu yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh, menghukum perusahaan pembakar hutan PT Kallista Alam dengan denda lebih dari Rp.366 miliar. Dalam perkara yang terdaftar No. 651 K/PDT/2015 itu, MA menyatakan menolak permohonan kasasi PT Kallista Alam dalam perkara perdata melawan Kementerian Kehutanan (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150918_indonesia_menhut_investigasi).

Pengaturan Larangan Pembakaran Hutan dalam Peraturan Perundang-Undangan

Kasus kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan secara sengaja ini tidak saja merugikan dari segi materi berupa berkurangnya lahan subur akibat pembakaran, terganggungya aktifitas masyarakat, serta berpotensi menimbulkan ganguan kesehatan, tetapi yang paling prinsip dan fundamental adalah merugikan hak dasar setiap warga negara, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hal ini secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”Apabila kasus kabut asap ini terus dibiarkan dan tidak mendapat penyelesaian secara serius dan tuntas, berarti Negara telah melakukan pembiaran dan tidak mengambil tindakan cepat serta lalai menjamin hak setiap warga negaranya agar mendapat lingkungan hudup yang baik dan sehat. Selain itu, negara juga telah lalai untuk melindungi segenap Bangsa Indonsia dan seluruh tumpah darah Indonesia seperti amanat Alinea ke IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi Negara tersebut, dalam konteks penanggulangan pembakaran hutan dan lahan, negara sesungguhnya telah memiliki 3 (tiga) perangkat hukum berupa UU yang dapat dijadikan payung hukum dalam rangka penegakan hukum dalam kasus-kasus pembakaran hutan, yaitu,

Pertama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), dimana Pasal 50 ayat (3) huruf d jo. Pasal 78 ayat (3) dan ayat (4) telah tegas mengatur larangan bagi setiap orang untuk membakar hutan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja maka diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dalam hal perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian maka diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah);

Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkuangan Hidup (UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), dimana Pasal 69 ayat (1) huruf h jo. Pasal 108 mengatur secara tegas larangan bagi setiap orang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dengan ancaman sanksi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); dan,

Ketiga, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan), dimana Pasal 56 ayat (1) jo Pasal 108 juga mengatur secara tegas setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar, dengan ancaman sanksi dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh milyard rupiah).

Akan tetapi di dalam implementasinya, penegakan hukum dalam usaha memberantas terjadinya pembakaran hutan atau lahan ini masih menemui beberapa kendala, diantaranya yaitu:

Pertama, penegakan hukum pada pelaku pembakaran hutan masih sangat lemah dan belum memberikan efek jera. Fokus pengenaan sanksi hanya pada pelaku perseorangan, sementara pengenaan sanksi terhadap pelaku koorporasi atau perusahaan masih lemah. Disisi lain, menyitir statemen SBY di atas, 70% (tujuh puluh persen) pelaku pembakaran hutan dilakukan secara sengaja oleh pelaku usaha. Selain itu, ringannya vonis yang dijatuhkan pengadilan turut juga memberi kontribusi lemahnya penegakan hukum terhadap hal ini. Faktanya, vonis hakim sangat ringan terhadap pembakar hutan dan lahan.

Menurut data Kepolisian Daerah Riau, tahun lalu, pengadilan sudah menyatakan 118 tersangka terbukti bersalah melakukan kejahatan lingkungan. Mereka dijatuhi hukuman penjara selama 3 (tiga) bulan sampai 5,5 (lima koma lima) bulan serta denda Rp10 juta hingga Rp3 miliar.

Hukuman ini tentu saja sangat ringan dibandingkan ancamannya dan akibat dari dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, sehingga tidak memberikan efek jera terhadap pelakunya (.http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/522/Menjerakan-Pembakar-Hutan-dan-Lahan/2015/09/07);

Kedua, masih terdapat beberapa kelemahan di dalam UU yang justru kontradiktif dengan usaha-usaha penegakan hukum di bidang pemberantasan pembakaran hutan selami ini. Sebagai contoh, yaitu ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang pada intinya mengatur pengecualian terhadap larangan pembukaan lahan dengan cara dibakar, dengan memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing. Adapun pada penjelasan ayatnya menyatakan, kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 (dua) hektare per kepala keluarga.

Ketentuan dalam Pasal 69 ayat (2) ini tentu saja kontradiktif dengan Pasal 69 ayat (1), selain dalam prakteknya (apalagi ketika musim kemarau) sangat sulit untuk petani bisa mengontrol atau membatasi pembakaran lahan pada luas maksimal 2 (dua) Ha.

Ketiga, pembukaan lahan pertanian dengan cara membakar merupakan salah satu cara berladang yang relative lebih murah dan praktis dibandingkan dengan cara yang lain. Sehingga kebiasaan ini sangat sulit untuk dihilangkan bahkan merupakan salah satu pilihan cara untuk berladang, padahal disisi lain pembukaan lahan dengan cara membakar adalah ciri petani nomaden.

Setelah revolusi hijau tahun 1920, petani cendrung menetapkan dan meninggalkan cara pembakaran. Apalagi ketika iptek masuk, petani kian disadarkan bahwa cara pembakaran justru membuat lahan tidak subur karena organisme didalam tanah akan mati; dan

Keempat, lemahnya koordinasi antara pemerintah dan pemerintah daerah, akibat lambatnya respon pemerintah dan pemerintah daerah dalam menangani serta melaporkan hal-hal yang terkait dengan kasus pembakaran hutan. Sehingga dalam beberapa kasus, akibat kebakaran hutan sudah meluas baru pemerintah daerah meminta bantuan pemerintah pusat.

Selain itu, tidak tegasnya pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengontrol dan mencabut izin-izin bagi perusahaan pelaku pembakaran hutan yang ia keluarkan. Bahkan dalam beberapa kasus, justru menjelang pilkada 2015 perizinan terhadap perusahaan yang terkait penggunaan kawasan hutan justru semakin meningkat (http://nasional.kompas.com/read/2015/09/19/01333751/Walhi.Banyak.Izin.Pengelolaan.Hutan.Diberikan.Kepala.Daerah.Jelang.Pilkada).

Usaha Dimasa Mendatang

Kasus pembakaran hutan dan lahan memang sangat sulit untuk diselesaikan, terlebih karena kompleksitas dalam penegakkan hukumnya. Diantaranya adalah sulitnya dalam pengawasan dilapangan, pembuktian, luasnya cakupan kawasan hutan, kekurang SDM dalam pengusutannya, ringannya vonis yang dijatuhkan pengadilan bagi pelaku pembakaran, dan masih banyak faktor yan lain.

Untuk itu, kedepan pemerintah, penegak hukum, peradilan, bersama-sama masyarakat harus tetap mendorong dan saling bahu-membahu dalam penegakan hukumnya, agar kasus–kasus pembakaran hutan ini tidak selalu terulang dan menjadi sesuatu yang tidak berkesudahan.

Oleh karena itu, kiranya pemerintah dapat segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, dalam beberapa kasus pengenaan sanksi pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan sangatlah ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Karena pelaku pembakaran hutan sebagian besar berasal dari korporasi, kedepan penegakkan hukum terhadap kasus ini sebaiknya lebih mengedepankan sanksi–sanksi yang bersifat administratif, berupa pemberhentian usaha secara sementara, pembekuan usaha, sampai dengan pencabutan izin, sehingga memberikan efek jera yang lebih maksimal kepada pelaku;

Kedua, perlu dipertimbangkan menggunakan sanksi tambahan berupa memasukkan perusahaan pelaku pembakaran hutan dalam daftar hitam (blacklist), sehingga pelaku akan semakin sempit ruang geraknya dalam berusaha. Ini dapat berimplikasi akan mematikan perusahan maupun group perusahaan dimaksud agar tercipta efek jera (Badroudin Haiti);

Ketiga, perlu ada evaluasi terhadap beberapa UU (legislative review) yang terkait dengan penegakan hukum di dalam kasus pembakaran hutan atau lahan di UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkuangan Hidup, dan UU Perkebunan, terutama terhadap pasal-pasal yang tidak sinkron atau dapat menghambat dalam upaya penegakan hukumnya;

Keempat, membangun sistem pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, dengan menerapkan iptek, sehingga petani tidak lagi melakukan tata cara berladang dengan melakukan pembakaran, tetapi hasilnya dapat memuaskan, tentu saja dengan biaya yang relative murah, dan kelima, mempercepat pengesahan RUU Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, yang akan diinisiasi oleh Komisi IV DPR RI sebagai dasar hukum yang bersifat khusus (lex specialist) dalam penegakan hukum dibidang pembakaran hutan.(zr/bh/sya)

Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan (Legislative Drafter) di Sekretariat Jendral DPR RI sejak tahun 2003 sampai sekarang.



 
   Berita Terkait > Penegakan Hukum
 
  Dua Tahun Kinerja Jokowi-Maruf, PKS: Ketidakpuasan Publik dalam Penegakan Hukum Meningkat
  Penegakan Hukum Era Jokowi Dinilai Gagal
  Dr Jan Maringka: Penegakan Hukum Tidak Sama dengan Industri
  Implementasi Ilmu Forensik dalam Proses Penegakan Hukum
  Penegakan Hukum dan Pengawasan Sektor Lingkungan Belum Efektif
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2