Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Virus Corona
Abdul Chair Ramadhan: UU Penanganan Covid-19 Menyalahi Sistem Hukum Pidana
2020-10-25 18:37:24
 

Abdul Chair ahli yang dihadirkan pihak Pemohon 43 saat disumpah sebelum memberikan keahliannya dalam sidang perkara Pengujian UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 di Ruang Sidang Pleno secara virtual.(Foto: Humas/Gani)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Ketentuan Undang-Undang Penanganan Covid-19terutama pada frasa "bukan merupakan kerugian keuangan negara" yang termuat dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) telah membatasi proses penegakan hukum. Ketentuan pembatasan ini juga disebutkan tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, jika dalam melaksanakan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, pasal a quo telah menyalahi atau meniadakan fungsi sistem peradilan hukum pidana.

Demikian keterangan yang dikemukakan Abdul ChairRamadhan selaku Ahli yang dihadirkan oleh para Pemohon perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang terdiri atas Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia. Sidang kelima pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU Penanganan Covid-19) ini digelar di Mahkamah Konstitusi pada Kamis, (22/10).

Lebih lanjut Abdul Chair menyebutkan seandainya ketentuan ini tetap dilakukan, dapat dipastikan hasilnya berupa penghentian perkara pidana karena tidak adanya alat bukti dan tidak terpenuhinya unsur objektif maupun subjektif seseorang dapat dituntut secara pidana.

"Padahal untuk dapat tidaknya seseorang dituntut secara pidana dan kemudian dimintakan pertanggungjawaban pidananya, tentu harus didasarkan pada adanya suatu kesalahan, termasuk kesalahan sebagai unsur subjektif dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi karena masalah ini menempati posisi yang paling menentukan dalam pertanggungjawaban pidana," kata Abdul Chairpada persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dnegan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana

Abdul Chairmengutip pendapat yang menyatakan sistem hukum pidana Indonesia adalah monistis, yakni menggabungkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Terpenuhinya unsur perbuatan pidana terhadap seseorang, apabila ia telah melakukan tindak kriminal dan memiliki kesalahan. Dalam kesalahan tersebut, sambung Abdul Chair, juga harus ada keadaan psikis atau batin dan hubungan yang saling terkait dengan perbuatan yang dilakukannya sehingga menimbulkan celaan. Hal inilah yang nantinya akan menentukan dapat atau tidaknya perbuatan seseorang tersebut dipertanggungjawabkan secara pidana.

Sebagai perbandingan, Abdul Chairmengilustrasikan pengertian kesengajaan berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Di dalamnya menyebutkan kesengajaan bisa saja bermakna dengan maksud, dapat diketahui, atau dapat menduga. Dengan demikian, ada atau tidaknya sebuah kesengajaan tersebut haruslah dibuktikan melalui proses pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, Abdul Chairmenilai pemaknaan iktikad baik dalam UU a quo tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hanya berpedoman pada niat. Sedangkan dalam pembuktian pidana, tidak tertuju pada ada atau tidaknya suatu niat.

Wewenang Pengadilan

Merujuk pada Pasal 53 KUHP terkait dengan niat ini, Abdul Chairberpendapat hal ini dapat diartikan sebagai unsur-unsur percobaan. Penentuannya juga menunjuk pada kesalahan dengan adanya tanda konkret berupa kesengajaan. Sebenarnya, hukum pidana membagi kesengajaan dalam tiga corak, yaitu kesengajaan dengan maksud, kesengajaan dengan kepastian, dan kesengajaan dengan kemungkinan. Apabila salah satu corak kesengajaan itu terpenuhi, maka terpenuhi pula kesengajaan sebagai unsur delik.

Atas dasar ini, Abdul Chairmenilai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 UU a quo menyangkut pembuktian kerugian keuangan negara dan kesalahannya merupakan wewenang pengadilan dan harus dibuktikan pula di pengadilan.

"Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 Undang-Undang Penanggulangan Covid-19 telah bertentangan dengan asas-asas yang mencakup cita hukum, yaitu ada kepastian, keadilan, kemanfaatan, jaminan pemenuhan asas legalitas yang harus dipenuhi dalam setiap perumusan undang-undang," terang Abdul Chair.

Sidang yang dilaksanakan secara virtual ini digelar untuk tujuh perkara yakni Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. Dalam tujuh perkara permohonan tersebut para Pemohon mendalilkan UU Penanganan Covid-19 cacat secara formil dan materiil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar menginformasikan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Selasa, 27 Oktober 2020 pukul 09.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 dan Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020.

Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Alasan para Pemohon melakukan pengujian formil UU Penanganan Covid-19 pada prinsipnya meliputi dua argumentasi. Pertama, tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perpu tersebut disetujui atau tidak. Kedua, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR.

Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mendalilkan, apabila UU Penanganan Covid-19 berikut lampirannya diberlakukan untuk seterusnya, maka ke depan tidak akan lagi ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang selalu dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR, karena Presiden dapat merubah postur dan/atau rincian APBN dan menetapkan perubahan tersebut secara sepihak hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Sedangkan amanat Konstitusi dalam Pasal 23C UUD 1945 menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Presiden.

Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia mendalilkan bahwa Perpu No. 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU No. 2/2020 mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" dan lebih diarahkan kepada kepentingan Pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023.

Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Sururudin mendalilkan, Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 dapat ditafsirkan memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020-2023. Hal ini justru bertentangan dengan ruang lingkup yang diatur dalam Bab I Pasal 1 undang-undang a quo. Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan APBN Tahun 2020. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada 2023.

Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, mendalilkan bahwa mereka sangat memahami kondisi wabah Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan dana desa pun tidak masalah. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika muncul ketentuan dana desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (8) Lampiran UU Penanganan Covid-19. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Penanganan Covid-19, tidak ada keterangan bahwa pada kondisi pandemi Covid-19, pemerintah pusat akan meniadakan dana desa. Yang diatur hanyalah kewenangan pemerintah melakukan penyesuaian, pemotongan dan penundaan, bukan meniadakan.

Sedangkan Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis selaku advokat. Damai mempermasalahkan penggunaan anggaran dalam Perpu a quo adalah melalui APBN sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 khususnya mengenai prinsip terbuka dan bertanggung jawab dalam penggunaan APBN untuk kesejahteraan rakyat, yang tidak boleh dimaknai dalam kondisi pengecualian tetapi harus dimaknai dalam kondisi apapun. Damai berpandangan, diberlakukannya ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 telah menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara yang mengakibatkan terjadinya kemunduran hukum, karena sebelumnya telah diberlakukan aturan-aturan dengan prinsip terbuka dan bertanggung jawab.

Sementara Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Para Pemohon antara lain mendalilkan pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama, tepatnya pada masa sidang ke-III. Menurut para Pemohon, proses penerimaan dan persetujuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: "Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut." Seharusnya, apabila DPR menerima Perppu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perppu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV, sehingga para Pemohon beranggapan UU 2/2020 beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan. Selain itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perppu 1/2020, dikarenakan isinya terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD.(MK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Virus Corona
 
  Pemerintah Perlu Prioritaskan Keselamatan dan Kesehatan Rakyat terkait Kedatangan Turis China
  Pemerintah Cabut Kebijakan PPKM di Penghujung Tahun 2022
  Indonesia Tidak Terapkan Syarat Khusus terhadap Pelancong dari China
  Temuan BPK Soal Kejanggalan Proses Vaksinasi Jangan Dianggap Angin Lalu
  Pemerintah Umumkan Kebijakan Bebas Masker di Ruang atau Area Publik Ini
 
ads1

  Berita Utama
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet

 

ads2

  Berita Terkini
 
Apresiasi Menlu RI Tidak Akan Normalisasi Hubungan dengan Israel

Selain Megawati, Habib Rizieq dan Din Syamsuddin Juga Ajukan Amicus Curiae

TNI-Polri Mulai Kerahkan Pasukan, OPM: Paniai Kini Jadi Zona Perang

RUU Perampasan Aset Sangat Penting sebagai Instrument Hukum 'Palu Godam' Pemberantasan Korupsi

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2