JAKARTA, Berita HUKUM - Dunia pendidikan Indonesia tengah berkabung dengan adanya polemik mengenai kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Mulai dari polemik Program Organisasi Penggerak (POP) hingga keterlibatan organisasi CSR milik yayasan konglomerat perusahaan swasta sekelas Tanoto Foundation dan Sampoerna untuk pelatihan guru.
"Di tengah pandemik Covid 19 anggaran pendidikan dipangkas, kondisi dunia pendidikan masih memprihatinkan, nasib guru Indonesia masih jauh dari sejahtera, tunjangan guru distop, tiba-tiba ada kabar yang memprihatinkan, berkabungnya dunia pendidikan Indonesia," kata Ketua Umum Perhimpunan Pergerakan Jejaring Nasional Aktivis 98 (PPJNA 98), Anto Kusumayuda dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/7).
Ia pun prihatin dengan kondisi tersebut, di mana organisasi besar sekelas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menarik lembaga pendidikannya dari POP Kemendikbud.
"Keluarnya Muhammadiyah dan NU dari POP Kemendikbud menandakan bahwa Mendikbud, Nadiem Makarim tidak layak menjadi seorang menteri, gagal merangkul dan tidak menghargai, melecehkan dua organisasi besar sebagai motor penggerak pendidikan di Tanah Air," tegasnya.
Berangkat dari hal tersebut, PPJNA 98 pun menyampaikan beberapa sikap, di antaranya meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim minta maaf kepada keluarga besar Muhamadiyah dan NU.
PPJNA 98 juga menilai Nadiem Makarim gagal memimpin Kemendikbud, mengkhianati marwah dan jati diri dunia pendidikan karena memposisikan sebagai wakil kepentingan kapitalisme global dan kepanjangan tangan konglomerat.
"Kemudian, kami juga meminta sebaiknya Bapak Presiden Jokowi mencopot Nadiem Makarim dari jabatannya untuk selamatkan dunia pendidikan Indonesia," tandasnya.
Sementara, Pemberian dana hibah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) kepada Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation dalam Program Organisasi Penggerak (POP) dinilai tidak tepat.
Bahkan aktivis Haris Rusly Moti menyebut alokasi POP Kemendikbud itu sebagai satu bukti kecil oligarki sedang bajak pendidikan.
"Bukti lain yang perlu diungkap adalah oligarki "penambang data" yang diduga sengaja tanam Nadiem Makarim di Kemendikbud untuk membajak data pelajar dan mahasiswa," duganya dalam akun Twitter pribadi, Minggu (26/7).
Terlepas dari itu, aktivis Petisi 28 tersebut turut menduga Presiden Joko Widodo tidak paham mengenai masalah pendidikan dan kebudayaan. Sementara di satu sisi, Jokowi melakukan blunder lantaran turut mengangkat orang yang juga tidak paham mengenai masalah ini.
"Dikiranya (Jokowi dan Nadiem) pendidikan itu tempat kursus. Pendidikan dan pengajaran itu untuk membentuk karakter bangsa yang berpancasila," tutupnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua LP Maarif Nahdlatul Ulama, Arifin Junaidi bahwa kisruh Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuka sebuah fakta baru. Ternyata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, tak mau tahu urusan masa lalu. Termasuk di bidang pendidikan.
Pengunduran diri Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari POP memang memicu banyak pertanyaan di masyarakat. Ada apa dengan POP rancangan Nadiem Makarim ini?
Keluarnya beberapa organisasi besar pendidikan di Indonesia dari POP ini menunjukkan kalau Mendikbud Nadiem Makarim tidak mengetahui soal sejarah pendidikan di Indonesia.
"Keluar Istana, sebelum jadi menteri, dia (Nadiem) bilang, dia hanya tahu masa depan, tidak (tahu) masa lalu, termasuk dalam bidang pendidikan. Ini terbukti kan, masa lalu organisasi yang berjalan di kegiatan pendidikan Indonesia, dia tidak tahu," ungkap Arifin dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu (25/7).
Tak hanya itu, dikatakan Arifin, Nadiem pun menyebut kalau kategori di dalam POP bisa berubah. Ini seperti mengindikasikan kalau status NU dan Muhammadiyah bisa berubah ketika POP sudah dijalankan.
"Dia juga menyatakan kita tidak pernah tahu, sekarang ini gajah besok jadi apa, yang sekarang ini kijang bisa jadi gajah. Ini kan indikasinya sekarang NU dan Muhammadiyah dapet gajah, tapi besok jadi gajah kempes? Sekarang yang lain-lain itu kijang, tapi boleh jadi besok jadi gajah, jadi dari situ sudah (diskredit lembaga)," bebernya.
Arifin pun menegaskan, pihaknya tidak ingin masuk ke dalam program yang hanya menghamburkan anggaran negara. Apalagi Indonesia saat ini masih dilanda pandemik di mana pemerintah butuh biaya sangat besar.
"Kami tidak ingin terlibat dari uang negara. Kalau kami ikut ya harus berjalan dengan baik," demikian arifin.(RMOL/bh/sya) |