Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Demokrasi
Pemidanaan Politik Yudi Syamhudi Suyuti dan Ujian Demokrasi di Indonesia
2020-05-30 03:09:01
 

Ilustrasi. Yudi Syamhudi Suyuti.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Nelly Siringo Ringo

OPINI INI saya tulis untuk sedikit menggambarkan situasi sosial politik yang terjadi saat ini di Indonesia, sekaligus di latar belakangi atas kasus yang menimpa aktivis Yudi Syamhudi Suyuti atas pemidanaan politik.

Selain itu juga untuk mengulas secara umum, kenapa saya harus mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi atas Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dan pengajuan saya dalam pra peradilan atas kasus yang menimpa suami saya, dimana sebelumnya ditersangkakan atas perbuatan makar, lalu kemudian ditersangkakan atas pasal 14 ayat 1 UU 1/1946, tentang penyebaran kabar bohong dan perbuatan onar di tengah rakyat.

Kejadian yang terjadi pada Yudi ini dapat saya katakan menjadi ujian berat bagi kehidupan demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan hingga berdarah-darah oleh mahasiswa dan rakyat.

Selain itu di era global saat ini, dimana perkembangan teknologi informasi menuntut kita untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dan mampu menempatkan dimana posisi kita dalam menyerap pesan komunikasi atas tindakan politik atau kriminal, semakin penting untuk melahirkan sebuah kesadaran baru (new consciousness) sebelum mempraktikkan new normal.

Pendemik Covid-19 seharusnya mengajarkan kita bagaimana menyadari pentingnya demokrasi, dimana perlawanan terhadap virus global ini tidak dapat hanya diatasi secara linear. Melainkan membutuhkan perdebatan dan pandangan beragam (multi linear) dari segala sektor, namun tetap berangkat dari arus pendapat untuk kepentingan Rakyat. Dan ini dituntut sehatnya demokrasi di Indonesia yang merupakan cara untuk mewujudkan prinsip kemanusiaan dan keadilan yang bermartabat.

Yudi Syamhudi Suyuti yang dipenjara karena pernyataan sikap Negara Rakyat Nusantara bukan merupakan tindak pidana atau kriminal. Apa yang dilakukannya murni untuk kepentingan penelitian tentang demokrasi dan kemanusiaan sebagai cara untuk mencari Resolusi Kemanusiaan dan Keadilan mengatasi persoalan bangsa dan negara Indonesia.

Sehingga akan menjadi kecelakaan persepsi ketika kasus ini dibawa ke ranah pidana melalui criminal justice system (sistem peradilan kriminal). Ini begitu kontras dengan advokasi Yudi pada tahun 2019 yang begitu tajam mengadvokasi korban tindakan kriminal kejahatan HAM atas pembunuhan 21-23 Mei dan 27-30 September 2019 yang masih misterius hingga saat ini.

Sementara, jika kita menguji pemidanaan Yudi dalam kasusnya yang merupakan kegiatannya di 2015, apa yang ditimpakan ke Yudi ini, adalah bentuk tindakan mengadili politik dalam meja pidana di Indonesia. Sehingga sebuah rezim harus memaksakan pendekatan keamanan (security approach) untuk memidanakan aktivitas politik bahkan intelektual. Ini preseden yang berbahaya untuk kemanusiaan dan keadilan jika terus menerus dilakukan pihak otoritas kekuasaan dan jaringan pelapornya.

Hal ini bisa mengindikasikan suatu tindakan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi jika dilihat dari perspektif kejahatan internasional. Sementara dari kaca mata hukum Indonesia, kejadian ini berpotensi melanggar HAM dan konstitusi. Oleh karena itu, kenapa saya menggugat pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tersebut dan juga mengajukan pra peradilan ke pengadilan negeri. Ini semata-mata demi kepentingan demokrasi, kemanusiaan dan keadilan.

Persoalan politik dan penegakan hukum pidana adalah variabel yang berbeda. Jika ini dijadikan satu dalam hal penyelesaian masalah, hal ini bisa kita ibaratkan, seperti menjawab perdebatan dengan menggunakan penangkapan.

Apa yang terjadi pada pemidanaan Yudi ini, selain mencederai demokrasi, sekaligus juga dapat merusak tatanan hukum (law order) di Indonesia jika kita mengacu pada tegaknya supremasi keadilan.

Saat ini sebetulnya, beberapa Kementerian telah memiliki Instrumen penyidikan seperti yang dimiliki Kementerian Keuangan atau Kementerian Lingkungan Hidup.

Penyidik di kementerian tersebut memiliki otoritas penyidikan sendiri dalam pemidanaan kasus-kasus pidana yang terkait pelanggaran keuangan atau lingkungan hidup tanpa harus menyerahkan penyidikan kasusnya ke kepolisian. Meski kasus ini menjadi gambaran bahwa tidak semua masalah pidana diselesaikan oleh Kepolisian, namun menyangkut kasus politik tentu tidak bisa dipidanakan, meski penyidikannya dipaksakan melalui Direktorat Keamanan Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Unsur pasal makar telah ditolak Kejaksaan Agung, lalu apakah pasal kebohongan dan perbuatan onar dapat digunakan untuk mengadili aktivitas penelitian dan politik Yudi, tentu tidak bisa. Karena apa yang disampaikan Yudi, baik tersurat maupun tersirat sama sekali atau nol potensi kebohongan dan perbuatan onarnya.

Kita berharap, semoga sistem peradilan pidana kembali pada tujuannya mencapai supremasi keadilan yang di dasari Ketuhanan Yang Maha Esa dengan praktek kemanusiaan sesua dasar negara kita.

Masalah politik praktis sudah jelas tempat untuk menanyakannya berada di pihak parlemen. Atau jika masalah politik tersebut terkait demokrasi dan kemanusiaan yang lebih dalam, Komnas HAM dapat menanyakan untuk konfirmasi. Bukan dengan pemidanaan.

Jangan sampai kasus pemidanaan politik Yudi Syamhudi Suyuti ini justru melahirkan Direktorat Tindak Pidana Politik. Semoga kemanusiaan dan keadilan tegak di Indonesia.

Freedom!

Penulis adalah Koordinator Korban JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional), penggugat Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 di MK.(rmol/bh/nmd)




 
   Berita Terkait > Demokrasi
 
  Kontroversi Presiden RI, Pengamat: Jokowi Mau Membunuh Demokrasi Indonesia!
  Jangan Golput, Partisipasi Generasi Muda di Pemilu Penentu Indeks Demokrasi
  Yanuar Prihatin: Sistem Proporsional Tertutup Bahayakan Demokrasi
  Peneliti BRIN Ungkap Demokrasi Tak Lagi Sehat Sejak Maraknya 'Buzzer' di Medsos
  Jelang Tahun 2023, Fadli Zon Berikan Dua Catatan Kritis Komitmen Terhadap Demokrasi
 
ads1

  Berita Utama
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet

Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu

Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi

100 Tokoh Deklarasi Tolak Pemilu Curang TSM, Desak Audit Forensik IT KPU

 

ads2

  Berita Terkini
 
Polda Metro Respon Keluhan Pedagang Ikan Modern Muara Baru Jakarta Utara dengan Pengelola Pasar

Nikson Nababan Menyatakan Siap Maju Pilgub Sumut, Jika Mendapat Restu Ibu Megawati

BP2MI Siap Sambut 9.150 Pekerja Migran Indonesia yang Cuti Lebaran 2024 dan Habis Masa Kontraknya Kembali ke Tanah Air

Datang Lapor ke Komnas HAM, MPA Poboya Adukan Polres Palu ke Komnas HAM, Dugaan Kriminalisasi

Gelar Rakor Lintas K/L, Polri Pastikan Mudik-Balik Lebaran 2024 Berjalan Aman dan Nyaman

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2