Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Internasional    
Kekerasan Terhadap Wartawan
Penembakan Jurnalis Indonesia di Hong Kong: Wartawan Tolak Klaim Pengawas Polisi atas Penembakan Veby Mega Indah
2020-05-16 16:02:54
 

Aksi solidaritas di Hong Kong untuk Veby Mega Indah.(Foto: GETTY IMAGES)
 
HONG KONG, Berita HUKUM - Wartawan Hong Kong, Mimi Lau, menolak laporan pengawas polisi tentang kronologis penembakan terhadap wartawan Indonesia, Veby Mega Indah, saat meliput unjuk rasa pada akhir September 2019.

Mimi Lau, yang bekerja untuk The South China Morning Post, mengatakan deskripsi Dewan Pengaduan Polisi Independen Hong Kong soal insiden penembakan terhadap Veby Mega "tidak akurat".

Melalui unggahan di Twitter, hari Jumat (15/5), Mimi Lau mengatakan, "Veby bukan terkena 'sesuatu', ia terkena tembakan polisi."

Sebelumnya, Dewan Pengaduan Polisi Independen Hong Kong merilis laporan dengan menyebutkan bahwa "pengunjuk rasa dan wartawan tidak mengindahkan peringatan polisi ... tiba-tiba, seorang reporter Indonesia terkena sesuatu di mata kanannya dan jatuh ke tanah".

Namun laporan yang dikeluarkan itu tidak menjawab tuduhan pelanggaran yang dilakukan sejumlah polisi.

Laporan ini disusun untuk menilai kinerja polisi Hong Kong dalam menangani gelombang unjuk rasa, menyusul rencana pemerintah membolehkan warga Hong Kong diadili di Cina daratan pada Juni 2019.

Laporan dewan pengawas polisi menyebutkan secara umum tindakan polisi sudah sesuai prosedur, namun meminta polisi mengkaji ulang penggunaan gas air mata.

Dalam laporan itu, aksi demonstran dikecam, sementara "brutalitas polisi diabaikan".

Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, menyambut baik isi laporan, namun oposisi dan para pegiat HAM menggambarkannya sebagai "upaya menutupi kesalahan polisi".

Menurut laporan ini, "polisi Hong Kong meremehkan risiko serangan oleh kerumunan di kawasan Yuen Long pada 21 Juli dan gagal membantah rumor kerja sama dengan geng-geng penjahat".

Situasi ini, menurut laporan tersebut, menjadi "katalis" protes yang berkepanjangan. Laporan ini tidak menemukan bukti kerja sama antara polisi dan geng penjahat.

Hal lain yang diangkat adalah, polisi diminta melakukan kajian tentang definisi "kerusuhan", hukuman maksimal 10 tahun penjara, dan apakah intensitas tindakan yang diambil dalam menangani puluhan ribu pengunjuk rasa yang berkumpul di luar gedung dewan perwakilan pada 12 Juli tahun lalu, bisa dikurangi skalanya.

Pengunjuk rasa dan pegiat HAM mengatakan tindakan polisi berlebihan, sementara polisi mengatakan selama ini mereka telah menahan diri.

Demonstran dan sejumlah politisi mengkritik dewan pengawas polisi sebagai "lembaga yang tidak bergigi" dan mendesak agar penyelidikan dipimpin oleh hakim.

Panel pakar internasional mundur sebagai penasehat dari dewan pengawas, dengan alasan dewan tak punya kapasitas untuk melakukan investigasi secara semestinya.

Insiden penembakan versi wartawan

Mimi Lau mengatakan, dirinya dan sesama wartawan The South China Morning Post, Sarah Zheng, adalah saksi mata langsung insiden yang menimpa Veby Mega dan berada hanya beberapa meter dari posisi Veby.

Mimi Lau mengatakan bahwa ketika itu "polisi tidak memerintahkan demonstran atau reporter untuk meninggalkan tempat". Juga, "tidak ada peringatan dari polisi sebelum penembakan".

Mimi Lau @gzmimi Membalas @gzmimi :
1. Police was not asking reporters and protesters to leave at that particular juncture, they were talking among themselves about retreating strategies.
2. There weren't any warning before the shot was fired
3. Veby was not hit by "something", she was hit by police's shot.

Ia menyertakan video rekaman dan video Facebook Live ketika insiden terjadi.

Mimi Lau mengatakan, video menunjukkan "polisi mengangkat senjata dan mundur melalui tangga, kemudian pemrotes maju ke depan".

"Polisi mengeluarkan tembakan dan mengenai Veby. Ia jatuh ke tanah," kata Mimi Lau.

Polisi Tak Sengaja


Wan ChaiHak atas fotoGETTY IMAGES
Image captionPenembakan yang membuat mata kanan Veby buta terjadi di kawasan Wan Chai, Hong Kong, pada 29 September 2019.

Insiden penembakan terjadi pada 29 September 2019 ketika Veby melakukan Facebook live untuk media tempat ia bekerja, Suara Hong Kong News.

Pelaporan langsung melalui Facebook ini ia lakukan di jembatan penyeberangan di Wan Chai, yang terhubung dengan gedung Immigration Tower.

Tembakan dengan peluru karet ini menyebabkan mata kanan Veby kini tidak bisa melihat.

Dalam wawancara dengan The South China Morning Post pada Desember 2019, Veby mengatakan ia tadinya mengira tembakan ini akan mengakhiri hidupnya.

"Mereka menenangkan saya dan meminta saya untuk tidak tertidur," kata Veby.

Ia menuturkan setelah terkena tembakan dan tersungkur, ada tim pertolongan pertama pada kecelakaan yang membantu dirinya, termasuk meminta ia adar tetap tersadar.

Ia menjalani perawatan di rumah sakit dan dokter mengatakan mata kanannya tak bisa lagi difungsikan dan ia harus tergantung dengan mata kirinya.

Unjuk rasa di Hong KongHak atas fotoGETTY IMAGES
Image captionHong Kong dilanda gelombang unjuk rasa setelah pemerintah mengeluarkan rancangan aturan yang memungkinkan warga Hong Kong diadili di China daratan.

Sehari setelah insiden, kepolisian Hong Kong menggelar keterangan pers dan mengatakan bahwa polisi bisa melihat ada wartawan di jembatan penyeberangan.

"Namun ada pula demonstran beringas yang menyerang polisi ... rekan-rekan polisi ketika itu tak punya pilihan [dan] menggunakan kekuatan untuk mengatasi keadaan," kata Tse Chun-chung, pejabat kepolisian Hong Kong.

"Saya yakin ia tidak menembak wartawan dengan sengaja," katanya.

Veby mengungkapkan insiden ini meninggalkan trauma, yang membuatnya kadang terbangun di malam hari.

Atas kejadian ini, Veby menggugat polisi Hong Kong, gugatan yang ia gambarkan sebagai "selain untuk menegakkan keadilan, juga demi para korban unjuk rasa di Hong Kong".

Ia juga mengatakan mestinya anggota polisi yang menembak dirinya ditindak.

Hong Kong dilanda gelombang unjuk rasa setelah pemerintah mengeluarkan rancangan aturan yang memungkinkan warga Hong Kong diadili di China daratan.

Aksi antipemerintah kemudian berkembang menjadi gerakan yang ditujukan untuk memastikan Hong Kong tetap menghormati prinsip-prinsip demokrasi.

Protes tahun lalu sering diwarnai kerusuhan dan lebih dari 8.000 pengunjuk rasa ditahan.(BBC/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Kekerasan Terhadap Wartawan
 
  Legalisasi 'Law As a Tool of Crime' di Penangkapan Wilson Lalengke
  Ketua Komite I DPD RI Desak Polisi Usut Tuntas Pelaku Penganiayaan terhadap Jurnalis di Pringsewu
  AJI Desak Kepolisian Usut Tuntas Kekerasan Terhadap Jurnalis Nurhadi
  Jurnalis MerahPutih.com Hilang Saat Meliput Aksi Demo Penolakan UU Omnibus Law
  Penganiayaan, Intimidasi dan Perampasan Alat Kerja Jurnalis Suara.com
 
ads1

  Berita Utama
5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Pengurus Partai Ummat Yogyakarta Buang Kartu Anggota ke Tong Sampah

Kreditur Kondotel D'Luxor Bali Merasa Ditipu Developer PT MAS, Tuntut Kembalikan Uang

Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

 

ads2

  Berita Terkini
 
Psikiater Mintarsih Ungkap Kalau Pulau Dijual, Masyarakat akan Tambah Miskin

5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Psikiater Mintarsih: Masyarakat Pertanyakan Sanksi Akibat Gaduh Soal 4 Pulau

Terbukti Bersalah, Mantan Pejabat MA Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

Alexandre Rottie Buron 8 Tahun Terpidana Kasus Pencabulan Anak Ditangkap

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2