Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
PPATK
Praktik Mafia Peradilan Sulit Terlacak PPATK
Tuesday 15 Nov 2011 19:04:18
 

Ketua MK Mahfud MD (Foto: Ist)
 
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD kesal dengan mafia peradilan. Kini, praktik jual-beli perkara lebih canggih dan pelaku menggunakan cara-cara tertentu, agar perbuatannya tidak terlacak Pusat Pelaporan Analisa Transaks Keuangan (PPATK).

"Perkara itu bisa dibeli dan PPATK tidak bisa melacak, karena penyuapan terhadap hakim tidak lewat bank, melainkan langsung melalui perantara yang dipercaya," kata Mahfud dalam sebuah acara seminar yang berlangsung di Jakarta, Selasa (15/11).

Menurut dia, pertemuan antara perantara itu dilakukan di luar negeri maupun dalam negeri dan berlaku dalam semua perkara-perkara yang menyangkut korupsi. Hal ini dapat dilihat dari permohonan uji material (judicial review) yang ditangani MK. Sejak MK berdiri 2003 hingga sekarang, telah melakukan 406 kali pengujian UU. Sebanyak 97 dikabulkan, karena inkonstitusional.

"Itu bisa terjadi karena ada jual beli orang yang berkepentingan dengan suatu UU. Orang yang berkepentingan itu bisa beli pasal tertentu ke DPR. Jadi, sekarang ini UU bukan lagi kehendak rakyat melainkan kehendak perorangan. Ini terjadi dalam proses pembuatan hukum," jelas dia.

Birokrasi, imbuh Mahfud, juga menjadi sumber masalah. Dalam birokrasi sudah terlanjur terjadi jual beli. Kejahatan korupsi juga terjadi akibat birokrasi telah rusak. Persoalan tersebut berpangkal pada etika dan moral pejabat. "Hukum-hukum moral bisa diakali, kalau moral dan mental rusak. Sekarang ini tinggal penegakan hukum secara tegas dan memutus jaringan kolusi itu," tandasnya.

Mahfud juga bosan berbicara mengenai solusi penegakan hukum. Menurut dia, Indonesia sudah memiliki produk hukum yang memadai, namun tidak berjalan dalam praktiknya akibat mental para penyelenggara negara juga rusak.

“UU pemikiran zaman Pak Harto sudah diubah, setelah reformasi. Itu merupakan politik hukum. Kita sudah punya semua hukum, hukum apa yang tidak kita punya. Tapi praktiknya dalam membuat sebuah UU, pendapat dari masyarakat kerap tidak didengar DPR. Akibatnya, banyak UU yang digugat rakyat. Tidak ada gunanya prolegnas. Politik hukum telah dikotori oleh hal-hal seperti itu," tandasnya.(tnc/wmr)




 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2