Oleh: Laily Fitriani, SH., MH
MARAKNYA pemberitaan tentang adanya dugaan praktik jual beli ijazah oleh belasan kampus di Jabodetabek tentu sangat memprihatinkan. Ijazah merupakan akta otentik yang menjadi bukti seseorang dalam memperoleh gelar akademik, ternyata palsu. Pembuatan ijazah palsu biasanya melibatkan oknum di lingkungan perguruan tinggi.
Kementerian Ristek dan Teknologi Dikti mendapat laporan adanya praktik jual beli ijazah di 18 kampus. Bahkan praktik kotor seperti itu sudah berlangsung lebih dari lima tahun dan ditengarai, sudah ada ratusan mahasiswa yang menggunakan ijazah palsu. Angka yang mengerikan bagi dunia pendidikan nasional. (
http://news.detik.com/read/2015/05/19/170504/2918879/10/menteri-nasir-jual-beli-ijazah-palsu-di-kampus-sudah-lebih-dari-5-tahun)
Ijazah Palsu ini dipergunakan bukan hanya untuk mencari kerja tapi juga diduga digunakan oleh calon legislatif (caleg), PNS, pengusaha, artis-seniman, dan bahkan guru. Sebagai contoh, Lembaga Pelatihan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta se-Indonesia menemukan ijazah palsu pada proses sertifikasi guru. Pemalsuan dokumen tersebut dilakukan oleh oknum guru, baik guru honorer (swasta) maupun guru PNS (Republika.co.id, Jum’at 4 Oktober 2013).
Tentu saja hal itu merupakan hal yang sangat memprihatinkan karena guru yang seharusnya sebagai tenaga pendidik dan harus mempunyai pendidikan dan kompetensi yang mumpuni tetapi ternyata memakai ijazah palsu untuk membuktikan kompetensi tersebut. Hal ini tentu menjadi ironis ditengah Indonesia mengejar ketertinggalan pendidikan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di penghujung 2015.
Dengan adanya temuan tersebut, Pemerintah diharapkan segera melakukan investigasi menyangkut persoalan ini. serta melakukan tindakan hukum terhadap oknum yang terlibat dalam kasus ini.
Pengaturan larangan jual beli ijazah Palsu dalam KUHP
Sebenarnya larangan jual beli ijazah palsu tersebut sudah diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHP yang menyatakan:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam, bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli , bila pemakaian surat itu dapat menimbulkan sesuatu kerugian.
Berdasarkan ketentuan tersebut, orang yang membuat surat palsu dalam hal ini ijazah palsu dan orang yang menggunakan ijazah tersebut keduanya dapat dikenai pidana.
Pengaturan larangan jual beli ijazah Palsu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
Selain ketentuan dalam KUHP pemalsuan ijazah juga dapat dijerat dengan UU Sisidiknas yaitu dalam Pasal 69 yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam UU Sisdiknas pengaturan mengenai larangan ijazah ijazah palsu dikenakan terhadap orang yang menggunakan ijazah palsu tersebut.
Pengaturan larangan pemberian ijazah oleh orang, organisasi atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU tentang Perguruan Tinggi).
Dalam UU tentang Perguruan Tinggi juga mengatur mengenai larangan pemberian ijazah oleh orang, organisasi atau penyelenggaran pendidikan yang tanpa hak yaitu dalam ketentuan Pasal 42 ayat (4) yang menyatakan bahwa Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa pemberian ijazah tidak dapat diberikan oleh sembarangan orang tetapi harus orang, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang mempunyai hak. Serta pelanggaran terhadap ketentuan ini mendapat ancaman yang cukup berat baik pidana maupun dendanya.
Peran serta masyarakat
Untuk mendorong penegakan hukum khususnya untuk menjerat oknum yang terlibat dalam ijazah palsu ini dibutuhkan peran serta masyarakat. Peran serta tersebut antara lain dilakukan dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum jika mengetahui adanya ijazah palsu. Atau dapat juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam pengungkapan ijazah palsu.
Penulis adalah Perancang Madya bidang Polhukham Setjen DPRRI.(lf/bh/sya)