JAKARTA, Berita HUKUM - Sasmito Hadinegoro, selaku Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia diminta lebih transparan soal pos anggaran pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Demikian ungkap Sasmito memberikan pernyataannya. Sebab, Kementerian Keuangan (kemenkeu) patut diduga menyembunyikan kewajiban pembayaran bunga obligasi rekap itu dengan membungkusnya dalam paket anggaran pembayaran bunga surat utang negara (SUN).
"Hal itu berpotensi melanggar Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Tata Kelola Keuangan Negara," ulas Sasmito, Senin (13/1).
Sasmito mengatakan, hari ini APBN dalam keadaan shortage atau minus. Karena itu pemerintah menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, berbagai subsidi dipotong, dana pensiun akan disatukan agar bisa dipinjam negara, dan sebagainya.
"Namun, tidak ada satu kata pun yang menyebutkan bahwa keuangan negara diberatkan oleh pembayaran bunga obligasi rekap eks BLBI yang setahun diperkirakan sebesar 70 - 100 triliun rupiah besarnya," ungkap Sasmito.
Di samping itu, apabila dihitung bunga-berbunga obligasi rekap sudah mencapai di atas 400 triliun rupiah tiap tahunnya. Sebab, pemerintah Indonesia harus membayar bunga itu dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang berbunga pula, jelas Sasmito.
Lanjut Sasmito menambahkan, agar pembayaran bunga obligasi rekap tidak diketahui publik, pemegang otoritas keuangan patut diduga mengaburkannya dengan cara membuat satu paket anggaran pembayaran bunga utang negara.
"Utang riil berupa SBN itu dicampur dengan bayar bunga obligasi rekap. Semua ini patut diduga ya, dan semestinya Komisi XI DPR bidang Keuangan dan Perbankan, serta KPK membuka hal ini karena melanggar UU," paparnya.
UU Keuangan Negara, lanjut dia, mensyaratkan akuntabilitas dan transparansi, sehingga rakyat mengetahui untuk apa saja pajak yang mereka bayarkan.
Sasmito menegaskan Indonesia tidak perlu khawatir membuat terang obligasi rekap BLBI. "Bahwa saat ini obligasi rekap tersebut sudah banyak dipegang oleh asing, justru hal itu dibutuhkan kejelasan hingga akan terang benderang adakah pidana dalam proses penjualan obligasi rekap tersebut," tukas dia.
Lembaga antirasuah RI atau dikenal Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Sasmito mestinya harus masuk ke skandal BLBI, karena ini adalah megaskandal korupsi keuangan negara terbesar di Indonesia sejak Indonesia merdeka. "Ini biang kerok hancurnya keuangan negara," kata dia.
Beberapa waktu lalu, pemerintah sebenarnya juga mengakui ada dua kebijakan keliru yang dilakukan pemerintah sehingga menghabiskan anggaran 6.000 triliun rupiah, yakni skandal BLBI dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat saasaran. Kebijakan itu menjadi salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dari negara - negara tetangga.
Indonesia mengalami kerugian banyak pada krisis ekonomi 1997 - 1998 akibat kredit macet perbankan. Kesalahan pemerintah adalah melakukan penjaminan sehingga menerbitkan blanket guarantee dan BLBI dengan nilai total 600 triliun rupiah. Kalau diukur bunganya dan nilai saat ini (2017), nilainya setara bisa sampai 3.000 triliun rupiah.
Perlu digarisbawahi, sebelumnya sejumlah kalangan meminta supaya politik anggaran pemerintah memprioritaskan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan segelintir orang kaya yang hampir 22 tahun menikmati subsidi bunga obligasi rekap BLBI.
Oleh karena itu, pemerintah semestinya memilih untuk menutup defisit BPJS Kesehatan sehingga dapat melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Apabila negara tidak memiliki anggaran yang memadai, lebih baik pemerintah menghentikan sementara atau moratorium pembayaran bunga obligasi rekap yang setiap tahun menggerogoti pajak rakyat, daripada menghentikan dana tambahan BPJS Kesehatan.
"Kalau dari sisi keadilan ekonomi, jelas sangat tidak perlu bagi pemerintah membayar bunga obligasi rekap terus-menerus," demikian ujar ekonom senior Dradjad Hari Wibowo, di Jakarta pada, Rabu (8/1) lalu.
Menurutnya, saat ini hampir 800 ribu masyarakat peserta BPJS Kesehatan turun kelas karena pemerintah menaikan iuran. Ditambah lagi banyak rumah sakit belum menerima pembayaran dari BPJS, seperti RS Muhammadiyah yang memiliki tagihan 1,2 triliun rupiah kepada pemerintah. "Eh, pemerintah masih terus membayar bunga obligasi rekap karena dulu menutup utang mereka," ujar Dradjad.(bh/mnd) |