Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Deponeering
Upaya Pengesampingan Perkara (Deponering), Akankah Menjadi Preseden Buruk dalam Penegakkan Hukum?
Monday 12 Oct 2015 17:08:37
 

Ilustrasi. Aksi demo massa Save KPK dari berbagai elemen di depan Gedung KPK.(Foto: BH/mnd)
 
Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.

KASUS MANTAN Pimpinan KPK. Lambatnya penanganan kasus pidana terhadap dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif Bambang Widjojanto (BW) dalam perkara dugaan keterangan palsu sengketa Pilkada Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010), serta Abraham Samad (AS) dalam perkara dugaan pemalsuan dokumen tanda pengenal mengundang banyak perhatian dan keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat terutama dari akademisi dan tokoh masyarakat.

Mereka menganggap lambatnya kasus ini untuk dibawa ke proses pengadilan karena terdapat dugaan kuat bahwa kasus ini sarat dengan tindakan kriminalisasi, dipaksakan, dan penuh rekayasa, sekedar untuk menjatuhkan BW dan AS karena sepak terjang mereka dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK.

Untuk itu, muncul desakan yang semakin kuat dari para penggiat anti korupsi, akademisi, LSM, maupun tokok masyarakat (tergabung dalam koalisi masyarakat sipil dan akademisi) dan pemuka agama agar Presiden Jokowi (PJ) segera memerintahkan bawahannya (Jaksa Agung) untuk mengesampingkan atau menghentikan perkara BW dan AS. Bahkan Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, tidak tertutup kemungkinan pihaknya memenuhi harapan masyarakat sipil dan himbauan PJ agar perkara BW dihentikan (Kompas, Senin, 5 Oktober 2015) atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering) sebelum dilimpahkan ke pengadilan.

Saat ini kasus BW sudah berada di Kejaksaan Agung karena penyidik Polri enggan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Disisi lain, wacana ini juga mendapat respon dari para politisi dan pakar hukum. Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita berpandangan bahwa kepala negara mesti menjaga kemajuan dan independensi dalam penegakkan hukum. Presiden keliru bila memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan deponering. Cara tersebut seperti gaya Orde Baru yang tidak perlu terulang di jaman setelah reformasi ini (Media Indonesia, Senin, 5 Oktober 2015), hal senada juga dinyatakan oleh anggota DPR Benny K Harman.

Terlepas dari perdebatan di atas, dalam sejarah hukum di Indonesia, Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2009 pernah memerintahkan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penghentian penyidikan dan penuntutan dengan mengeluarkan SKP2 terhadap dugaan kriminalisasi yang menimpa Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah setelah mendapat rekomendasi tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution. Bahkan pada jaman pemerintahan Presiden Suharto, upaya pengesampingan perkara demi kepentingan umum juga pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan hak opportunitasnya, yaitu dengan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.

Pengaturannya dalam Peraturan Perundang-Undangan

Dalam konteks wacana hukum yang disampaikan oleh koalisi masyarakat sipil dan akademisi serta pemuka agama di atas, terdapat 2 (dua) upaya hukum yang dimaksud, yaitu pertama, upaya hukum mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering); dan kedua, upaya hukum penghentian penuntutan melalui surat SKP2. Dua upaya hukum dimaksud lahir dari kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung atau jaksa (penuntut umum) sebagai badan yang berhak mengadakan penuntutan terkait dengan asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut.

Selain asas dimaksud, terdapat juga asas opportunitas, yaitu asas yang menentukan bahwa “tidak” setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut (Andi Hamzah). Kedua asas dimaksud menurut A.Z. Abidin Farid dirumuskan sebagai asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum (jaksa) untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat kepada seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.

Terkait dengan upaya deponering, hal ini tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (UU HAP) maupun undang-undang yang lain. Substansi ini hanya diatur dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Pasal 14 huruf h, Pasal 46 ayat (1) huruf c, dan Penjelasan Pasal 77 UU HAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung. Dalam ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang diantaranya adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kemudian di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Jadi jelas disebutkan dalam UU Kejaksaan, bahwa Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi yang salah satu wewenangnya melakukan deponering.

Ini dimaksudkan untuk tetap menjamin agar wewenang ini sejauh mungkin tidak disalahgunakan. Jaksa Agung dalam pengambilan keputusan tersebut senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi yang terkait dengan perkara dimaksud. Penghentian penuntutan dalam konteks deponering ini adalah sepenuhnya wewenang Jaksa Agung, bukan merupakan wilayah praperadilan dimana pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a UU HAP).

Adapun upaya hukum penghentian penuntutan melalui surat SKP2 adalah jaksa dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum mengeluarkan SKP2 untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan (SKP2) untuk menghentikan penuntutan karena alasan demi kepentingan hukum atau ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat (2) UU HAP).

Adapun perbedaan upaya deponering dengan upaya hukum penghentian penuntutan melalui surat SKP2, yaitu pada upaya deponering, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman.

Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh Jaksa Agung atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum’. Deponering ini sepenuhnya merupakan kewenangan Jaksa Agung, sehingga jaksa lain di lingkungan kejaksaan Republik Indonesia tidak dapat menggunakan kewenangan ini.

Upaya deponering hanya dapat dilakukan satu kali upaya terhadap suatu perkara, sehingga ketika deponering telah dilakukan tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan. Sedangkan upaya hukum penghentian penuntutan melalui surat SKP2, penghentian penuntutan bukan didasarkan atas kepentingan umum, tetapi berdasarkan alasan dan kepentingan hukum itu sendiri. Alasan tersebut diantaranya, pertama, ditutup demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal dari alat bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183 HAP, alat bukti yang ada tidak sah menurut hukum, atau tidak terpenuhinya unsur delik dari pasal yang didakwakan, kedua: ditutup demi hukum, apabila dijumpai suatu tindakan pidana yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa hak kejaksaan untuk menuntut tindak pidana tersebut gugur, tindak pidana tersebut harus ditutup demi hukum karena “nebis in idem”, terdakwa meninggal, telah lewat waktu, penyelesaian di luar proses, abolisi, atau amnesti.

Pada upaya ini, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi diajukan penuntutan kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan, umpanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum. Penghentian penuntutan dapat diajukan upaya hukum dalam proses praperadilan ((Pasal 77 huruf a HAP), serta dilakukan oleh jaksa pada lingkup kejaksaan RI.

Dalam konteks penyelesaian kasus pidana BW dan AS yang kasusnya ditengarai banyak kalangan merupakan kasus kriminalisasi, penuh rekayasa, dan terkesan dipaksakan, penyelesai hukum dapat dilakukan melalui 3 (tiga) alternatif upaya hukum, yaitu pertama, deponering; kedua, upaya hukum penghentian penuntutan melalui surat SKP2; dan ketiga, melalui lembaga peradilan.

Pada upaya hukum yang pertama, yaitu melalui upaya deponering, kelebihannya kasus BW dan AS akan dikesampingkan penuntutannya demi kepentingan umum, selanjutnya perkara ini seterusnya tidak akan lagi dapat diajukan ke pengadilan. Sehingga kasus ini dapat dinyatakan selesai dan tidak dapat dibuka kembali. Hanya saja kelemahannya, dalam kasus BW dan AS akan dianggap cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh Jaksa Agung atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum.

Sehingga apabila upaya deponering yang ditempuh ini akan membawa image atau efek buruk kepada nama baik BW dan AS kedepan, karena kasusnya dianggap memenuhi syarat untuk dituntut dan ada kemungkinan untuk divonis di pengadilan. Sehingga keduanya akan memiliki stigma telah bersalah, hanya saja kasusnya dikesampingkan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan latar belakang timbulnya kasus BW dan AS dan cara penanganannya yang diduga merupakan tindakan kriminalisasi penegak hukum terhadap keduanya.

Apabila yang ditempuh adalah opsi kedua, yaitu melalui upaya hukum penghentian penuntutan melalui surat SKP2, kelebihannya kasus BW dan AS akan dianggap penghentian penuntutan bukan didasarkan atas kepentingan umum, tetapi berdasarkan alasan dan kepentingan hukum itu sendiri, yaitu demi kepentingan hukum karena berbagai hal misalnya tidak cukup alat bukti atau ditutup demi hukum hukum karena berbagai argumen, misalnya penyelesain diluar proses dan dilakukan oleh jaksa dalam lingkungan kejaksaan RI. Hanya saja kelemahannya, perkara yang bersangkutan sewaktu-waktu dapat lagi diajukan penuntutan kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan umpanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum, sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum.

Belum lagi upaya ini akan menimbulkan potensi ketidakharmonisan hubungan kelembagaan antara penegak hukum, khususnya antara Kejaksaan dengan Polri, karena pada kasus ini Polri tidak mengeluarkan SP3, sehingga kasus ini dianggap layak untuk ditindaklanjuti sementara kejaksaan mengeluarkan SKP2, yang berarti kasus ini ini tidak layak untuk diteruskan demi kepentingan hukum.

Penyelesain kasus BW dan AS melalui pendekatan opsi ketiga, yaitu melalui peradilan, kelebihannya karena kasus BW dan AS ini diduga bersifat politis, sarat rekayasa, dan terkesan dipaksakan oleh penegak hukum, di dalam proses peradilan inilah semua fakta-fakta yang ada terkait kasus ini dapat diuji kebenarannya baik secara formil maupun materiil di sidang peradilan yang terbuka dan transparan.

Sehingga kedepan dugaan-dugaan apakah benar kasus ini murni hukum atau kasus yang dipaksakan/direkayasa sekedar ingin menjatuhkan BW dan AS akan mendapat pembuktian secara terbuka dan transparan. Kelemahannya, penyelesaian kasusnya akan memerlukan waktu yang relative lebih lama, sementara pemerintah akan terus mengalami tekanan dari masyaratakat yang menuntut agar kasus ini segera diselesaikan karena terkesan dipaksakan dan sarat rekayasa.

Penegakkan Hukum Kedepan

Dari awal kasus yang menimpa BW dan AS ini cukup mengundang perhatian dan keprihatian dari masyarakat, karena kuat dugaan perkara ini bersifat kriminalisasi, sarat dengan rekayasa, dan terkesan dipaksakan, sekedar ingin menjatuhkan AS dan BW karena sepak terjang keduanya dalam pemberantasan agenda korupsi di Indoensia. Untuk itu penyelesaiin terhadap kasus ini bisa ditempuh melalui 3 (tiga) alternatif upaya hukum, yaitu melalui deponering, mengeluarkan SKP2, atau melalui persidangan di lembaga peradilan.

Hanya saja setelah dikaji kelebihan dan kelemahan dari masing-masing opsi upaya hukum dimaksud, sebaiknya penyelesaian kasus hukum yang menimpa BW dan AS ini ditempuh dengan cara mengeluarkan SKP2 oleh jaksa penuntut umum, dengan catatan apabila memang berkas penyidikan yang disampaikan Polri tidak ternyata tidak lengkap, tidak sesuai, atau tidak memenuhi persyaratan seperti yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan sehingga tidak layak untuk ditindaklanjuti.

Dalam hal berkas dan kelengkapan penuntututan dianggap lengkap dan memenuhi syarat maka sebaiknya penyelesaian kasus ini diselesaikan melalui jalur pengadilan yang terbuka dan transparan “bukan” melalui upaya deponering, karena: pertama, apabila upaya penyelesaian secara hukum terhadap kasus BW dan AS ditempuh melalui upaya deponering, hal ini sama saja menganggap keduanya bersalah tapi kasusnya dikesampingkan.

Padahal kasus ini diduga kuat sarat dengan tindakan kriminalisasi, rekayasa, dan terkesan dipaksakan. Selain itu, alasan demi kepentingan umum bagi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas terkait dengan kekhawatiran dengan diusut kasus keduannya akan menghambat upaya-upaya pemberantasan korupsi dan menghambat kinerja KPK juga tidak beralasan, karena dengan non aktif keduanya sebagai pimpinan KPK saat ini telah diangkat pimpinan sementara KPK penggantinya melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-ndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang sehingga KPK masih tetap melaksanakan fungsinya; kedua, agar kepastian hukum baik secara formil maupun materiil bisa dicapai melalui persidangan yang jujur, terbuka, dan transparan, sehingga dugaan-dugaan bahwa kasus yang menimpa BW dan AS ini bersifat politis, penuh rekayasa, dan terkesan dipaksakan dapat dibuktikan secara terbuka.

Apabila dugaan tersebut terbukti, BW dan AS patut mendapat hukuman atas perbuatannya, sebaliknya apabila kasus-kasus tersebut tidak terbukti, keduanya layak mendapat rehabilitasi untuk memulihkan martabatnya agar kembali bersih dimasyarakat; ketiga, sesuai dengan prinsip hukum bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945), artinya segala warga Negara sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law), sehingga tidak ada satu pun anak bangsa yang berhak mendapat perlakukan istimewa atau pengecualian dimuka hukum; dan keempat, akan menciptakan preseden baik di dalam penegakkan hukum dan peradilan di Indoensia, karena Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945), bukan Negara yang berdasarkan kepada kekuasaan, sehingga intervensi PJ dalam kasus ini hendaknya dihindarkan.(zr/bh/sya)

Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya (Legislative Drafter), Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI.



 
   Berita Terkait > Deponeering
 
  Pemerintah: Aturan Deponeering Konstitusional
  ISK Melaporkan Jaksa Agung, Saur Siagian: Ini Membenturkan Lembaga Kejaksaan dengan Kepolisian
  Kejagung Didatangi Pendemo dari AMPH Menolak Diponering
  Upaya Pengesampingan Perkara (Deponering), Akankah Menjadi Preseden Buruk dalam Penegakkan Hukum?
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2