JAKARTA, Berita HUKUM - KontraS dan Setara Institute meminta Pemerintah Pusat di Jakarta, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan pihak Polri mengedepankan profesionalisme penaganan situasi di Poso, Sulawesi Tengah.
Kami menyayangkan masih terjadinya kekerasan di Poso Sulawesi Tengah; dimana telah terjadi peningkatan teror dan aksi kekerasan pasca perjanjian damai (Malino) Poso. Pada medio Agustus hingga minggu ke IV Oktober 2012 telah tejadi 2 kasus penembakan yang menyebabkan 1 warga meninggal dunia dan 1 orang mengalami luka tembak hingga dirawat di RSUD Poso. 5 kasus peledakan bom yang mengakibatkan 2 orang polisi dan 1 satpam terluka akibat terkena serpihan bom, 3 kasus teror bom yang terjadi di beberapa tempat: di Poso kota, Poso Pesisir dan terakhir di Tentena Pamona Utara (24/10). Peristiwa di Poso tidak hanya menyasar warga sipil, 2 anggota Polisi yang bertugas di Polsek Poso Pesisir diculik, kemudian keduanya ditemukan tewas terkubur di satu lubang di wilayah pegunungan Tamanjeka, Poso Pesisir. Sebuah bangunan gereja di Desa Madale juga dibakar dalam kurun waktu seminggu terakhir, oleh orang tak dikenal.
Bagi masyarakat Poso, peristiwa tersebut telah mengakibatkan peningkatan kecemasan diwarga di Poso, aktifitas warga (khususnya di wilayah Poso Pesisir) terganggu dengan patroli anggota kepolisian yang bersenjata lengkap mengelilingi pemukiman warga. Hal ini mengingatkan pada situasi konflik beberapa tahun silam di Poso. Demikian juga keberadaan anggota TNI dari Batalyon 714 Sintuvu Maroso yang melakukan patroli di sekitar wilayah pengunungan Tamanjeka (wilayah yang diduga jadi tempat persembuyian pelaku teror Poso).
Kekhawatiran juga meluas, dikarenakan disatu sisi pernyataan-pernyataan petinggi kepolisian yang mengumbar sejumlah nama menjadi target operasi tidak diimbangi dengan langkah penegakan hukum yang professional. Tidak ada penjelasan target operasi dan berapa lama. Berbarengan dengan operasi, teror dan aksi kekerasan masih terjadi, meskipun Polisi telah menangkap 3 orang.
Kami juga menilai bahwa harus ada kehati-hatian dalam melibatkan TNI dalam operasi tersebut. Adakah ukuran yang jelas bagi Presiden membiarkan TNI terlibat dalam operasi tersebut? Adakah ancaman yang sudah patut melibatkan TNI dalam operasi keamanan di Poso saat ini? Atau justru adakah titik lemah polisi dalam melakukan operasi di Poso? Selain itu, Presiden harus menegaskan aspek prosedur dalam pelibatan TNI dalam penaganan keadaan di Poso, seperti adanya persetujuan DPR. Kami, khawatir jika pertanyaan-pertanyaan diatas tidak bisa dijawab, sungguh pelibatan TNI merupakan sebuah kesewenang-wenangan dalam mobilisasi TNI.
Kami mengingatkan kepada Kepolisian dalam melakukan operasi penegakan hukum di Poso agar bertindak secara proporsional dengan mengedepankan tugas penegak hukum yang professional. KontraS telah mencatat sejarah buruk penegakan hukum di Poso. Pada tahun 2007 di wilayah Tanah Runtuh, Poso Kota, KontraS menemukan fakta telah terjadi pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum. Saat itu pihak kepolisian melakukan penangkapan sewenang-wenang yang disertai dengan tindakan penyiksaan terhadap 25 warga, diantaranya adalah petugas ambulance yang hendak melakukan evakuasi korban. Operasi pada 11-22 Januari 2007 itu juga telah mengakibatkan tewasnya 15 warga sipil dan 2 anggota kepolisian yang saat itu bertugas. Operasi polisi ini juga telah menyebabkan ketakutan bagi warga yang berada disekitar TKP hingga terjadi pengungsian. KontraS menemukan beberapa bentuk pelanggaran berat hingga pengabaian SOP dan kebijakan Operasional lainnya oleh pihak kepolisian dalam operasi ini.
Kami memandang pentingnya mengkedepankan upaya dialogis sebelum langkah-langkah penegakan hukum dilakukan. Secara khusus kepada Kapolda Sulteng untuk dapat melibatkan tokoh masyarakat setempat dan elemen masyarakat sipil di Poso dalam mencari solusi penyelesaian masalah. Pemerintah harus kembali memformulasikan konsep pendekatan yang lebih komprehensif terhadap mereka yang terlibat pada aksi-aksi teror. Peristiwa teror yang berulang dengan dugaan keterlibatan sekelompok orang - yang justru merupakan korban dari konflik yang pernah terjadi - menunjukkan program deradikalisasi yang dipromosikan oleh BNPT telah gagal. Saatnya DPR meninjau kembali keberadaan lembaga ini dan meminta pemerintah untuk menyusun agenda pemulihan di Poso yang berkeadilan bagi korban konflik.
Kami menghimbau, aparat kepolisian ditingkat lapangan dapat melakukan langkah-langkah proteksi untuk mengamankan para pihak yang juga merupakan saksi kunci terhadap peristiwa teror yang berlangsung. Kami juga mengingatkan agar aparat kepolisian tidak menggunakan kekuasannya secara berlebihan (Excessive use of power) saat proses penegakan hukum di lakukan. Demikian siaran pers dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) - Haris Azhar, Bonar Tigor Naipospos - Setara Institute, Glen Fredly - Musisi/Aktivis Kemanusiaan.(rls/krs/bhc/sya) |