JAKARTA, Berita HUKUM - Lola Amaria menyiapkan film terbarunya, Negeri Tanpa Telinga, yang akan diluncurkan pada 14 Agustus mendatang. Diangkat dari dua kasus yang ditangani KPK, yakni kasus suap impor daging sapi dan pembangunan wisma atlet di Hambalang, Lola mengaku melakukan riset hingga empat tahun.
Waktu praproduksi yang sedemikian panjang, disebabkan lantaran kasusnya yang terus bergulir dan diperbarui oleh media setiap hari. Dua kasus ini dipilih, karena merupakan dua kasus yang paling besar pada saat itu. “Kasusnya sudah ada, dan mungkin realitasnya lebih serem. Data dan angkanya harus akurat,” kata Lola yang melakukan casting selama dua bulan.
Menurut aktris sekaligus sutradara ini, kasus korupsi tampak seperti fenomena gunung es. “Kecil di atas, lebih serem di bawahnya,” kata Lola yang juga menyutradarai “Minggu Pagi di Victoria Park” pada 2010 dan “Sanubari Jakarta” pada 2012.
Lola mengaku, tema korupsi memang berat ketika diadaptasi ke dalam sebuah film popular. Karena itu, untuk menyiasatinya, Lola menggunakan genre komedi satir untu mengemas pesan. “Temanya serius, tapi kami mengemasnya dengan komedi hitam. Intinya kita menertawakan keadaan,” katanya.
Juru Bicara Johan Budi SP mengapresiasi kepedulian Lola Amaria. “Korupsi inilah yang merusakan tatanan ekonomi, sosial dan bernegara. Dahsyatnya kejahatan korupsi ini. Atas nama KPK dan pemberantasan korupsi, kami mengapresiasi apa yang dilakukan Lola,” kata Johan.
Johan menambahkan, dalam upaya pemberantasan korupsi, semua upaya dan media harus digunakan, termasuk film. Menurut Johan, para pekerja seni juga memiliki tanggung jawab yang sama, hanya saja caranya yang berbeda.
Lewat film, kata Johan, mampu mempengaruhi perilaku penontonnya. Paling tidak, secara tidak sadar, masyarakat bisa memahami tentang orang yang terlibat dalam korupsi. “Apalagi data yang digunakan akurat, sehingga akan melengkapi Informasi penontonnya,” kata Johan.
Film Negeri Tanpa Telinga, seolah melengkapi sejumlah film pendahulunya yang bertemakan pemberantasan korupsi. “Kami semua bersyukur memiliki KPK yang berjuang menegakkan keadilan dan menyelamatkan uang negara,” katanya. Sebagai insan perfilman, Lola berjuang melalui film dalam upaya itu, membantu kinerja KPK di bidang pencegahan.
Film ini menceritakan korupsi dengan penggambaran yang jamak; kekuasaan, politik dan keterlibatan perempuan. Lola menampilkan peran tukang pijat, Naga, yang diperankan Teuku Rifnu Wikana, untuk menjalin cerita. Melalui telinganya, Naga kerap mendengar berbagai skandal korupsi dan skandal seks para politisi dan pejabat. Konflik dimulai saat Naga membeberkan apa yang dia dengar kepada seorang jurnalis. Saat kisah itu diberitakan, Naga pun diteror. Dia pun meminta dokter THT untuk menghancurkan gendang telinganya yang dianggap sebagai sumber keruwetan yang terjadi.(kpk/bhc/sya) |