JAKARTA, Berita HUKUM - Dalam rangka menyikapi situasi ekonomi Indonesia dan kondisi sosial yang semakin rawan, penting dianalisa baik berdasarkan perspektif ekonomi maupun politik. Karyono Wibowo seorang aktivis Berdikari Institute dan sebagai pengamat politik mengatakan, "Runtuhnya sebuah rezim ditinjau dari fundamental ekonomi dan politik. Peristiwa "kudeta" pada beberapa negara dipicu oleh ekonomi; ada kudeta merangka, dan ada juga yang memaksa (koersif), sifatnya 'militer'. " katanya saat berdiskusi dengan tema "Selamatkan Perekonomian Indonesia, Pemerintah Harus Ambil Tindakan Non Konvensional", yang diselenggarakan oleh Berdikari Institute di Veteran Coffee n Resto Jl. Veteran 1 no. 21 Gambir, Jakarta Pusat pada, Rabu (2/9).
Karyono Wibowo mengutarakan, sumbu pemicunya bergantung dari bermacam faktor yakni, faktor politik (kudeta secara paksa maupun tidak), dan faktor ekonomi, atau keduanya (kudeta+ekonomi). Tapi yang umumnya / biasa terjadi adalah keduanya.
"Saat dimana terjadi inflasi yang tidak mampu dibendung oleh pemerintah hingga akhirnya dikudeta secara halus," jelasnya, yang khawatir dan menggambarkan situasi seperti di zaman era Orde baru, jatuhnya rezim suharto. Dimana, dipengaruhi 3 hal: politik, ekonomi, kepentingan. "Jatuhnya suharto dipicu oleh krisis moneter pada tahun 1997/1998. Namun, ada kepentingan asing yang 'main' disini, sehingga kekuatan orba runtuh," tambahnya.
Dalam 8 bulan terakhir ini, nilai rupiah anjlok sebesar sekitar 11 persen, dari level Rp. 12.474 per USD per 2 Januari 2015 telah menjadi lebih dari Rp. 14.000 per dollar AS menjelang tutup bulan Agustus ini. Kejatuhan nilai tukar rupiah akibat keluarnya dana asing dari pasar di indonesia (Capital Reversal). Bukan semata-mata imbas dari faktor eksternal. Rencana kebijakan the Fed yang menaikan suku bunga dan langkah pemerintah Tiongkok, mendevaluasi Yuan.
Guncangan terhadap ekonomi nasional sebenarnya berakar dari rapuhnya fundamental perekonomian Indonesia. Sementara, bila dicermati, menurut Fachru Nofrian sebagai pengamat ekonomi dan Peneliti dari Berdikari Institute serta Prisma Indonesia, mengatakan, Kondisi perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan dampak dari kebijakan the Fed pasca Krisis 2008, "yaitu suku bunga rendah dan quantitative easing".
Perpaduan 2 kebijakan tersebut menghasilkan dana-dana dalam jumlah besar. Krisis di Amerika dan Eropa membuat dana dana di kawasan tersebut mengalir ke pasar keuangan negara negara emerging market, termasuk Indonesia yang menjalankan kebijakan suku bunga lebih tinggi.
Aliran dana ini, membuat Indonesia kebanjiran Likuiditas, kondsis yang semakin diuntungkan dengan naiknya harga komoditas global. "Hingga bulan Agustus 2015 tingkat Inflasi mencapai 7,18 persen, naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014 yang hanya sebesar 3,99 persen. Namun, Inflasi tercatat cukup rendah hanya 0,39 persen, sementara Agustus 2014 sebesar 1,07 persen." ungkap Fachru Nofrian menambahkan.
Inflasi pada bulan Agustus dapat dibaca sebagai sinyal terjadinya perlambatan konsumsi domestik. Penurunan konsumsi, dilihat dari menurunnya permintaan kredit, akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi, menyusul terkoreksinya rupiah secara tajam dan merosotnya nilai ekspor-impor Indonesia.
Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit per April 2015 hanya tumbuh 10,4 persen, menurun dari pertumbuhan kredit 11,3 persen per Maret 2015. Sementara, tingkat kredit macet (non performing loan/NPL) perbankan per Mei 2015 tercata sebesar 2,6 persen, atau naik 0,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya, yang berada di level 2,5 persen.
Meningkatnya NPL antara lain masih terjadi pada kredit sektor pertambangan dan konstruksi. Perlu diketahui pula, Hutang April 2015 dengan total Hutang Luar Negeri Indonesia tercatat sebesar USD 299,84 Miliar, naik dari bulan sebelumnya yang hanya USD 298,06 Miliar, selain itu dari sekitar 500 ribu pemain swasta di pasar modal Indonesia, hampir 70 persen merupakan pemain asing.
"Saat Likuiditas terkuras dan rupiah terpuruk, pemerintah mencoba menghimpun dana melalui hutang domestik dengan menerbit berbagai Obligasi," imbuh Fachru Nofrian, yang merasa kebijakan ini justru semakin membuka peluang ajang spekulasi para investor asing, namun akibatnya, langkah pemerintah seperti ini seperti 'menggarami lautan'.
Sedangkan, Uchok Sky Khadafi selaku Direktur Center for Budget Analysis yang ikut selaku narasumber Seminar ini menggambarkan, kekuatan rezim Orba yang cukup kuat saat itu, dollar rontok, hingga menunggu 13-16 ribu ketika itu menurut saya berbahaya jika dollar mencapai 15 ribu, ini titik paling kritis.
"Jika pada rezim kali ini, Jokowi walau rupiah naik ke 15.000 dan ada bank jatuh beliau tetap memiliki kepercayaan dari masyarakat. Walaupun, masyarakat masih percaya pada dia, kenaikan Dollar ini apakah bisa menjatuhkan / menurunkan Jokowi ?," tanya Uchok, sambil menerawang segala kemungkinan terjadi, saat berdiskusi dengan santai ini.
"Malah yang saya khawatirkan jokowi justru Reshuffle oleh wakilnya sendiri," candanya, mengomentari kondisi terkini, apalagi terkait pemilihan Staf Kepresidenan yang nampak kurang mengindahkan 'lelang jabatan', yang dulu digembar gemborkan menjadi acuan untuk penentuan tanggungjawab dan wewenang jabatan.(bh/mnd)
|