VANCOUVER, Berita HUKUM - Tepat pukul 8 malam di hari Minggu waktu Vancouver, Canada atau pukul 10 pagi di hari Senin waktu Jakarta, Indonesia, prestasi yang mengharumkan bangsa Indonesia terukir di Festival Film bergengsi Canada International Film Festival. Film I'M Star yang disutradarai oleh Damien Dematra dengan pemeran grup band I'M Star (Arya, Abhi, Shinta dan Ervitha) yang menyandang autisme meraih Rising Star Award di kategori Family Film Competition. Seolah tidak cukup dengan penghargaan tersebut, pihak juri menganugerahkan Rising Star Award juga untuk Film Indonesia lainnya yaitu Let's Play Ghost dalam kategori Film Asing Terbaik, demikian release yang di terima tim BeritaHUKUM pada, Senin (13/4).
Menurut William Young, direktur festival ini, kedua film Indonesia ini bersaing dengan lebih dari 500 film dari lebih dari 30 negara dan dianggap sebagai film dengan kualitas terbaik dan layak memperoleh penghargaan khusus. Acara Malam Penganugerahan itu sendiri berlangsung di Stadium Club Theater, di pusat kota Vancouver, Canada dan dihadiri ratusan sineas dari seluruh dunia.
Film I'M Star memang telah berhasil mempesona berbagai lapisan masyarakat dari Anak-Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) hingga para pemimpin negara. Menurut Natasha Dematra, pemeran utama di film tersebut, film I'M Star disamping ceritanya yang sangat menginspirasi, telah membuka mata semua pihak bahwa bahkan ABK pun apabila diberi kesempatan, dapat bermain film dengan baik dan bahkan bisa mengalami proses penyembuhan lewat bermain film. Kemenangan ini seolah menjadi hadiah buat para penyandang autisme di seluruh dunia karena bertepatan dengan Hari Autisme sedunia yang jatuh pada tanggal 2 April.
Sebaliknya, kemenangan film Let's Play Ghost, film horor yang tidak mengandalkan "resep paha dan dada" ini menurut sutradara Damien Dematra menjadi tamparan keras bagi perfilman Indonesia mengingat ironi film ini yang walaupun sudah mengharumkan nama Indonesia di 5 benua dengan memenangkan puluhan penghargaan internasional tapi di negerinya sendiri harus bersusah payah hanya agar bisa ditayangkan di bioskop. Kurun waktu hampir 2 tahun dalam antrian tanpa kepastian apakah akan ditayangkan atau tidak semakin membuktikan carut-marutnya sistem tata edar bioskop di Indonesia yang nampaknya lebih berpihak pada film-film asing dibandingkan pada film dari anak bangsa sendiri.
Damien juga memberikan contoh bagaimana film seperti Fast and Furios 7 yang berbudget lebih dari 3 triliun menelan habis-habisan film-film Indonesia sekelas Tjokroaminoto, Ada Surga di Rumahmu, Filosofi Kopi, dll. Hal ini diakibatkan oleh karena harga tiket yang sama antara film asing dan film lokal, padahal dari segi dana pembuatan sudah berbeda sangat jauh. Hal ini dianalogikan Damien seperti menawarkan Ferrari dengan Mobnas kepada pembeli tapi dengan harga yang sama, itu sama saja dengan menjegal dan menjagal film Indonesia di rumah sendiri.
Lambannya pemerintah dalam menangani persoalan-persoalan di industri kreatif ini membuat Dewan Kreatif Rakyat merasa terpanggil untuk membuat petisi nasional di Hari Film Nasional pada tanggal 30 Maret yang lalu untuk menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Pengumpulan dukungan untuk petisi nasional ini yang hingga kini terus berjalan telah memperoleh lebih dari 18.000 dukungan dan rencananya akan diserahkan kepada Presiden Jokowi apabila telah mencapai 50.000 dukungan. Diharapkan sebelum petisi ini diserahkan, pemerintah terlebih dahulu dapat terketuk hatinya untuk segera membantu dan melindungi film Indonesia yang hampir mati suri.(bh/rat)
|