*Koruptor seharusnya disamakan dengan napi teroris yang tak perlu mendapat remisi. Aksi korupsi mereka telah membuat bangsa dan negeri ini sengsara
JAKARTA-Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) akan memberikan remisi (pengurangan masa hukuman) terhadap narapidana (napi) di seluruh Indonesia. Hal ini terkait dengan perayaan hari raya Idul Fitri 1432 Hijriah.
Dari 44.423 napi yang menerima remisi hari raya keagaman ini, 235 merupakan napi perkara korupsi. Selanjutnya, dari 1.229 napi yang langsung bebas, delapan di antaranya adalah koruptor. Demikian diungkapkan Kasie Peliputan dan Penyajian Informasi Direktorat Informasi dan Komunikasi (Infokom) Ditjen Pemasyarakatan, Kemenkumhan, Ika Yusanti dalam pesan singkat yang diterima wartawan, baru-baru ini.
“Yang paling banyak mendapat remisi di Kalimantan Selatan 27 orang. Sedangkan 24 orang si Jakarta. Yang paling sedikit di Kalimantan Barat, ada satu orang. Ada juga beberapa provinsi yang tidak mendapat ada remisi untuk napi korupsi, misalnya di Papua,” ungkap Ika.
Remisi khusus ini, lanjut dia, diberikan sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 12/95 Sistem Pemasyarakatan, Kepres Nomor 174/1999 tentang Remisi, dan PP Nomor 32/1999 tentang Tata Cara dan Syarat Pelaksanaan Hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Total napi korupsi yang mendapat remisi ada 235 orang di seluruh Kanwil Kemenkumham. Delapan di antara mereka langsung mendapat remisi bebas. Napi korupsi yang bebas, tersebar di beberapa provinsi. Antara lain Sumatera Selatan sebanyak enam orang, Jakarta satu orang, dan Kalimantan Selatan satu orang,” jelas Ika.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas mengatakan, para koruptor di Indonesia tidak perlu dan tidak layak diberikan remisi atau pengurangan hukuman. Pasalnya, mereka telah merugikan negara dan membuat sengsara rakyat miskin di negeri ini. “Mereka mestinya disamakan dengan para teroris yang tidak pernah diberikan remisi, sebab koruptor justru akan merasa senang jika memperoleh remisi," kata Busyro.
Menurut dia, berkaitan dengan hal itu, undang-undang tentang pemberian remisi harus diubah agar para koruptor di negeri ini tidak memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. "Jadi, yang harus dilakukan adalah mengubah dulu undang-undang tentang pemberian remisi," ujarnya.
Mengenai hikmah Idul Fitri bagi pemberantasan korupsi, Busyro mengatakan, Idul Fitri yang berarti kembali ke fitrah atau suci hendaknya menjadikan aparat negara didorong menemukan kualitas fitrah dalam mengelola pemerintah dan negara. Artinya, mereka harus menjauh dari proses politik yang koruptif dan proses politik untuk kepentingan masing-masing partai politik.
"Jadi, seharusnya sudah saatnya dibalik yaitu dalam mengelola pemerintah dan negara tidak untuk kepentingan masing-masing parpol, namun untuk kepentingan rakyat Indonesia, sebab sampai saat ini masih ada 40 juta penduduk miskin di negeri ini. Jangan justru menjadikan rakyat makin melarat karena proses politik," tegas Busyro. (dbs/bie/spr)
|