JAKARTA, Berita HUKUM - Sangat disayangkan jika Partai Golkar firm' menggabungkan kekuatan dengan PDI Perjuangan di pertarungan Pilpres 9 Juli mendatang. Apalagi, saran berkoalisi itu datang dari konsultan politik lembaga survei.
"Kok mau-maunya Ketum Golkar ARB berkoalisi dengan PDIP mengusung Jokowi, hanya karena saran konsultan politiknya Denny JA," kritik pengamat politik hukum dari The Indonesian Reform, Martimus Amin.
Amin mengingatkan, prediksi lembaga survei acap salah. Seperti meramalkan PDIP akan memperoleh suara 34 persen pada Pileg 2014 bila mencapreskan Jokowi. Kenyataan, hasil dicapai PDIP untuk mensyaratkan Jokowi pun tidak cukup. Bahkan lembaga survei seperti LSI juga dalam banyak Pilkada seperti di Jawa Barat dan DKI Jakarta meleset telak. Begitu juga hasil perolehan suara Golkar tidak signifikan dalam Pileg 9 April lalu meski menggunakan jasa konsultan politik.
"Saran politik yang salah akan berakibat fatal bagi nasib politik ARB," ungkapnya kepada Rakyat Merdeka Online, Selasa (13/5).
Golkar partai besar dan dinamis. Sepengetahuan dirinya, banyak kader Beringin tidak setuju dengan rencana koalisi itu jika ditinjau dari platform, histori, dan kepentingan politik. Amin menunjuk salah satu kader terbaik Golkar, Bambang Soesatyo, misalnya, yang bilang 'Lebih terhormat Golkar menjadi oposisi ketimbang menjadi pengemis koalisi'.
"Cetusan Bambang sangat menarik dan perlu dikaji secara mendalam oleh ARB. Terlebih capres yang diusung nanti belum tentu memenangi Pilpres," katanya lagi.
Menurut Amin, masyarakat luas mulai sadar dan paham imej yang dibangun di balik kesahajaan Jokowi sekedar pencitraan.
"Nah apalagi Jokowi sampai batal nyapres ditahan kejaksaan terkait dugaan korupsi import bis transjakarta. Apa tidak menjadi problem?," paparnya.
"ARB harus pikir dulu semua ini," imbuh Amin.(wid/rmol.co/bhc/sya) |