Oleh: H. Tony Rosyid
KEPULANGAN HABIB Rizieq membuat penguasa panik. Itu wajar! Selama ini, sepak terjang Habib Rizieq dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika tokoh yang dipanggil HRS ini terus menerus menyerukan Jokowi mundur. Kendati seruan ini tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Sudah berubah, atau atur strategi?
Begitu juga narasi revolusi. Kata ini sering keluar dari caramah HRS. Belakangan, kata revolusi berubah jadi revolusi akhlak. Tentu beda makna dan penekananya. Apakah ini bagian dari strategi untuk menghindari pasal makar?
Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Yudi Sufriadi juga dicopot. Tak hanya dua Kapolda, dua kapolres juga ikut dicopot, yaitu kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah dimana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa.
Tentu tak ada yang kebetulan. Pencopotan dua Kapolda dan dua kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS. Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS.
Situasi politik makin tegang ketika Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta juga ikut dipanggil oleh Bareskrim hari ini terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS. Melalui surat nomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk meberikan klasifikasi terkait acara HRS.
Anies sebelumnya telah konferensi pers, menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan. Melalui Wali Kota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tidak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Sikap Anies tegas dan berlaku untuk siapa saja.
Ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda 50 juta rupiah kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash!
Anies telah menjalankan prosedur kesehatan dengan benar, sesuai pergub Nomor 79/2020 tentang protokol kesehatan, dan pergub Nomor 80/2020 tentang PSBB. Lalu, apa yang salah dengan Anies sehingga Bareskrim harus memanggilnya dan minta klasifikasi?
Sementara, berbagai kasus pelanggaran terhadap protokol kesehatan telah banyak terjadi di berbagai wilayah, tapi Bareskrim tidak memanggil kepala daerah tersebut. Kapolda dan kapolresnya juga gak dicopot. Publik mempertanyakan tindakan ini. Ganjil!
Misal di Solo dan Medan. Rombongan yang mengantar Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, anak dan menantu Jokowi mendaftar Cawalkot ke KPUD berkerumun. Banyak yang gak pakai masker. Mereka mengabaikan protokol kesehatan dan melanggar aturan PSBB. Hal ini diungkapkan sendiri oleh ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto. Bambang mengatakan bahwa "kerumunan yang ditimbulkan dari massa pendukung Gibran dan Bobby saat mendaftar ke KPU merupakan hal yang tak dapat dihindarkan" ....ekspresi gembira suka bikin lupa bahaya, katanya lagi. (5/9)
Begitu juga Parade Merah Putih di Kabupaten Banyumas. Ansor dan Banser mengerahkan 7.000 massa. Yaqult bilang 9.999 pasukan. Kegiatan parade ini mendapatkan ijin dari pemerintah daerah. Mungkinkah 7.000 atau 9.999 orang ini bisa menghindari kerumunan? Saat berbaris, mungkin bisa. Sebelum dan setelah acara? Apalagi saat mereka sedang menyantap lezatnya makanan yang dihidangkan.
Demikian juga dengan kegiatan pengajian dan dzikir Habib Lutfi di Pekalongan Jawa Tengah. Sama dengan HRS, Habib Lutfi juga punya magnet sosial yang luar biasa besar. Tentu, setiap kegiatan yang Habib Lutfi adakan akan dihadiri oleh puluhan hingga ratusan ribu jama'ah. Mereka berkerumun dan terjadi juga pelanggaran terhadap protokol kesehatan.
Banyak kegiatan-kegiatan lainnya yang dipastikan terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Namun demikian, Kapolda, kapolres dan kepala daerah dimana pelanggaran itu terjadi, mereka tetap aman. Tapi, jika HRS yang mengadakan kegiatan itu, para pejabatnya patut untuk was was.
Ada rasa ketidakadilan disini, itu pasti. Pemerintah dianggap tebang pilih dalam bersikap. Ada perlakuan yang berbeda antara HRS dengan yang lain.
Sikap pemerintah ini patut dikoreksi dan dikritik. Sebab, ketidakadilan berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketegangan sosial.
Jika kita bertanya: mengapa perlakuan terhadap HRS berbeda dengan yang lain? Mengapa dua Kapolda dan dua kapolres tempat dimana HRS mengadakan acara harus dicopot? Mengapa Anies Baswedan, Gubernur DKI dipanggil Bareskrum untuk klasifikasi acara HRS?
Jawabnya: HRS dianggap tokoh berbahaya. Karena itu, perlu dicegat langkahnya. Cara paling efektif adalah mendorong semua aparat kepolisian dan kepala daerah melarang dan menghalangi panggung HRS. Dengan dicopotnya dua Kapolda dan dua kapolres serta dipanggilnya gubernur DKI, ini akan jadi peringatan buat para Kapolda, kapolres dan kepala daerah yang lain. Jika mereka tak mencegah kegiatan HRS, maka nasib mereka bisa jadi akan sama dengan dua kapolda dan dua kapolres yang dicopot. Kepala daerah yang nekat, tak menutup kemungkinan akan berurusan dengan Bareskrim.
Lalu, bagaimana reaksi dan langkah HRS melihat perlakuan seperti ini? Menyerah dan berhenti ceramah? Atau tetap akan melanjutkan road show-nya memperbesar massa dan melakukan konsolidasi jama'ah?
Jika berhenti ceramah, atau ceramah via zoom, maka gaung HRS akan lambat laun memudar. Heroisme HRS akan melamah, lalu dilupakan rakyat. Disisi lain, jika HRS tetap melanjutkan road show-nya, boleh jadi ia akan menghadapi banyak persoalan. Terutama soal ijin acara dan tuduhan pelanggaran Covid-19. Tak menutup kemungkinan akan ada lagi kasus kriminal yang menjadi alasan HRS ditangkap dan dipenjara.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)
|