JAKARTA, Berita HUKUM - Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dapat menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini karena Polri selain sebagai penerbit SIM, juga melakukan penegakan hukum terkait pelanggaran lalu lintas. Demikian keterangan yang disampaikan Pakar Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang digelar pada Kamis (1/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Rimawan menjelaskan, akan lebih baik jika kewenangan administratif Polri, termasuk menerbitkan SIM diberikan pada pihak lain. Pembebasan dari kewenangan tersebut akan memfokuskan Polri pada visi dan misinya untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. “Kepolisian perlu dibebaskan dari fungsi administratif agar fokus pada pencapaian, misi dan visi. Dengan demikian, yang terjadi adalah bagaimana meminimalisasi conflict of interest, misalkan kepolisian di sini sebagai yang menerbitkan SIM, tapi pada saat yang bersamaan kepolisian adalah juga yang harus menegakkan hukum terutama di jalan-jalan. Ini menciptakan conflict of interest dan ini bisa dikurangi dengan cara kepolisian hanya fokus pada fungsi penegakan hukum,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Rimawan yang hadir sebagai Ahli Pemohon menyebut penerbitan SIM di beberapa negara tidak ditangani oleh pihak kepolisian, seperti Inggris, Amerika Serikat dan lainnya. Ia menjelaskan, tidak adanya kewenangan menerbitkan SIM maupun STNK oleh kepolisian, tidak berarti kepolisian di negara tersebut kehilangan kemampuan melacak dan identifikasi dalam kasus kriminal, terutama terkait dengan pencurian kendaraan bermotor seperti yang dikhawatirkan oleh Polri. Di Inggris misalnya, kewenangan mengeluarkan SIM maupun meregistrasi kendaraan bermotor dilakukan oleh Driver and Vehicle Licensing Agency (DVLA) di bawah Kementerian Transportasi.
Kemudian, lanjut Rimawan, terkait kekhawatiran pencabutan kewenangan menerbitakan SIM dan STNK dari Polri akan berakibat sulitnya mengidentifikasi dan melacak kendaraan bermotor yang terkena curanmor, hal itu tidak akan terjadi karena Polri memiliki database yang kuat. Hanya saja, lanjut Rimawan, database tersebut belum terintegrasi antara pusat dan daerah.
“Kalau kita lihat database di Kepolisian Indonesia, informasi yang dikumpulkan untuk para offenders sangat lengkap. Saya mengatakan tidak kalah dengan yang di Inggris, hanya saja yang menjadi permasalahan hampir semuanya masih manual dan belum dibangun sistem yang integratif di daerah-daerah ataupun tingkat nasional, sehingga kurang mendukung efektivitas kerja dari Bapak-Bapak/Ibu Kepolisian,” terangnya.
Polri Paling Tepat
Sementara itu, Kasubdit Regident Mabes Polri Bakharuddin yang hadir mewakili Polri sebagai Pihak Terkait menegaskan, jika pemisahan kewenangan menerbitkan SIM dan STNK dilakukan, hal itu akan membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi, lanjutnya, belum ada instansi yang tepat untuk menggantikan Polri. “Apakah tidak justru membahayakan NKRI kalau seandainya menyangkut masalah SIM atau regident ranmor diberikan kepada instansi lain? Instansi mana yang kira-kira lebih tepat dibandingkan Polri yang memiliki hubungan vertikal yang tidak otonomi daerah? Polri adalah kepolisian negara tersentralisasi, artinya bersifat vertikal. Nah, institusi mana yang kira-kira lebih tepat dibandingkan Polri?” tuturnya.
Ia pun menjelaskan, kewenangan menerbitkan SIM dan STNK nyatanya telah membantu dalam pengungkapan sejumlah kasus pengeboman yang terjadi. Secara tidak langsung, hal ini membantu dalam penegakkan hukum yang menjadi fungsi Polri. “Pengungkapan Bom Bali, Bom Australia, Bom Kedutaan, itu bersumber dari nomor resi dan nomor angka. Saya informasikan pada saksi ahli bahwa saat ini Kolantas Polri sudah memiliki database kendaraan bermotor secara seluruh Indonesia dan ini alhamdulillah sangat membantu dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam rangka mengidentifikasi kendaraan-kendaraan bermotor, baik yang dijadikan objek kejahatan maupun sebagai alat kejahatan,” tandasnya.
Klarifikasi Tanda Tangan
Dalam persidangan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengindikasikan adanya pemalsuan tanda tangan kuasa hukum dalam permohonan Pemohon. Dalam perbaikan permohonan, lanjut Maria, seolah tanda tangan beberapa kuasa hukum hanya dilakukan oleh satu orang. “Ada perbedaan yang sangat besar, jadi Kuasa Hukum, ya, tanda tangan Kuasa Hukum itu saya kok melihatnya seperti ditandatangani oleh satu orang dalam perbaikan permohonan, karena ini berbeda sekali dengan permohonan yang awal,” ujarnya.
Melanjutkan hal ini, Arief Hidayat meminta klarifikasi kuasa hukum pada sidang berikutnya. Ia menegaskan, jika terbukti adanya pemalsuan tanda tangan, kuasa hukum Pemohon akan dipidanakan. “Kalau ini palsu, maka permohonan ini gugur. Kemudian urusan palsunya pidana, silakan ini bukan delik aduan, silakan Polri yang menangani. Tapi saya mohon Polri sebagai Pihak Terkait, tetap berdiri pada waktu mengidentifikasi apakah tanda tangan ini otentik atau tidak otentik,” tegasnya.
Seperti diketahui, para Pemohon adalah Alissa Q. Munawaroh Rahman (Pemohon I), Hari Kurniawan (Pemohon II), Malang Corruption Watch yang diwakili Ketua Badan Pengurus Lutfi J. Kurniawan (Pemohon III), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Ketua Badan Pengurus Alvon Kurnia Palma (Pemohon IV) dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum Dahnil Anzhar. Norma-norma yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 2 tentang Kepolisian serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat 3, Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut para Pemohon, sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang menjaga, keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini berarti fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, untuk mendukung fungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga Pemohon beranggapan, kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM bukan merupakan bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban. Pemohon mendalilkan, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, maka wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama.(LuluAnjarsari/IR/mk/bh/sya) |