JAKARTA, Berita HUKUM - Aturan yang melarang terpidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Demikian ditegaskan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis yang hadir dalam sidang uji materiil UU Pilkada yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/11) di Ruang Sidang MK.
Margarito menambahkan apapun hukuman yang diterima, terpidana tetaplah berstasus terpidana yang telah dijatuhkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap meskipun hukuman percobaan. Status terpidana menunjukkan bahwa orang tersebut telah bersalah menurut pengadilan. Menurutnya, tak ada hak persamaan di atas hukum yang terkurangi maupun sifat diskriminatif yang ditimbulkan karena terpidana tetaplah terpidana.
"Saya tidak menemukan alasan logis untuk menyatakan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g itu mengurangi kesamaan kesempatan atau memperlakukannya secara tidak adil yang semuanya merupakan hak yang bersifat asasi," ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selanjutnya, ahli yang dihadirkan Perludem dan ICW selaku pihak terkait tersebut menjelaskan penundaan pelaksanaan hukuman tidak akan memengaruhi status hukum seseorang sebagai terpidana yang bisa membatalkan seseorang maju dalam pencalonan pemilihan kepala daerah. Namun ia menambahkan penundaan pelaksanaan hukuman percobaan haruslah tetap ditentukan oleh hakim. Hal itu untuk memberikan kepastian kepada terpidana.
"Harus ditentukan batasnya. Anda dicoba sampai 2 tahun, selesai 2 tahun game over, jadi selesai. Jadi cobaannya itu sampai 2 tahun, misalnya kalau ditentukan secara eksplisit di dalam putusannya. Tidak bisa tidak, harus dinyatakan secara eksplisit berdasarkan rasio pasal ini di dalam putusan itu. Berapa lama masa percobaannya. Kalau tidak begitu secara konstitusional putusan salah. Karena tidak diberikan kepastian," tandas Margarito.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, sebagai pemohon, pada awal bulan Agustus 2016 mendapat putusan kasasi dengan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP. Pemohon menyoal Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana.
Dalam permohonannya emohon menilai bahwa ketentuan a quo telah melanggar hak konstitusionalnya karena dinilaimenghalangi pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. Frasa ".... karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih" yang semula terdapat dalam Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 menjadi dihapus dan diganti dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016.
Dengan demikian, menurut pemohon, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 telah memperluas cakupan tindak pidana, yang semula dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih, menjadi seluruh tindak pidana, sekalipun ancaman penjaranya hanya percobaan. Pemohon beralasan, pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari Pilkada Serentak 2015 ke Pilkada Serentak Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |