Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Pilkada
Ahli: Narapidana Tidak Miliki Hak Dipilih
2016-12-06 08:15:14
 

Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Jl. Merdeka Barat no 6 Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10110.(Foto: BH /mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Pelarangan seorang narapidana untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak bersifat diskriminasi dan sesuai dengan Konstitusi. Demikian disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang perkara yang dimohonkan oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie digelar pada Senin (5/12) di Ruang Sidang MK.

Menurut Saldi, seorang narapidana memang tidak memiliki hak untuk dipilih, berbeda halnya dengan seorang mantan narapidana yang dikecualikan. Seorang mantan narapidana tetap dapat dipilih asalkan berbicara dengan jujur ke hadapan publik terkait statusnya. Pembatasan ini telah tepat sesuai dengan Konstitusi.

"Pembatasan ini sangat tepat sesuai dengan ukuran kredibilitas moral yang dikemukakan pada bagian awal tadi," ujar Saldi selaku Ahli yang diajukan oleh Badan Bantuan Hukum dan Advokasi PDI Perjuangan yang merupakan Terkait.

Ia menambahkan tidak mungkin pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang narapidana dapat dipercaya atau mendapatkan legitimasi dari rakyat. Saldi pun menjelaskan jika Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon maka kredibilitas dan rekam jejak seorang calon kepala daerah tidak bisa lagi akan dijadikan ukuran objektif dalam memenuhi syarat kepercayaan masyarakat dalam proses pemilihan.

"Jika ruang itu diberikan, tidak akan ada lagi perbedaan antara orang yang memiliki rekam jejak baik dengan yang memiliki rekam jejak buruk," ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Kekhawatiran pemohon mengenai statusnya sebagai Gubernur, lanjut Saldi, telah diatur dalam Pasal 163 ayat (7) dan (8) UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur jika Gubernur/Wakil Gubernur terpilih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, maka akan tetap dilantik, kemudian saat itu juga diberhentikan. Aturan ini dinilai Saldi justru memberikan kepastian hukum baik bagi tahapan pilkada juga terhadap status hukum calon yang terpilih.

"Selain memberikan kepastian, Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga norma yang dapat dijadikan jaminan agar calon yang terpilih sebagai kepala daerah betul-betul memiliki rekam jejak yang baik. Pada saat yang sama juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa seorang kepala daerah terpilih tidak mengingkari mengucapkan sumpah jabatannya bahwa ia akan memenuhi, mematuhi peraturan perundang-undangan padahal dirinya sendiri sedang tersangkut kasus pidana atau berstatus terpidana," tandasnya.

Dalam permohonannya yang teregistrasi dengan nomor perkara 71/PUU-XIV/2016, Pemohon mendapat putusan kasasi dengan pidana 1 (satu) tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP pada Agustus 2016 lalu. Terkait hal ini, Pemohon menyoal Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana. Pemohon menilai bahwa ketentuan a quo telah melanggar hak konstitusional Pemohon karena dinilaimenghalangi Pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. Frasa "... karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih" yang semula terdapat dalam Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 menjadi dihapus dan diganti dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016. Dengan demikian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 telah memperluas cakupan tindak pidana, yang semula dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diubah menjadi seluruh tindak pidana, sekalipun ancaman penjaranya hanya percobaan. Pemohon beralasan, pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari pemilukada serentak 2015 ke Pemilukada Serentak Tahun 2017 ini selain bertentangan dengan prinsip negara hukum juga melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.(LuluAnjarsari/MK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Pilkada
 
  Pramono Anung-Rano Karno Menangi Pilkada Jakarta 2024
  Tanggapi Pernyataan Jokowi, Mahfud: Enggak Biasa...
  Peneliti: 57 Calon Dinasti Politik Menang Pilkada 2020
  Komisi II Apresiasi Tingginya Partisipasi Pemilih Kepri pada Pilkada Serentak 2020
  Calon Tunggal Pilkada Kutai Kartanegara Hadapi Gugatan di MK, Warga Harapkan Keadilan
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2