JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo prihatin masih banyak potensi kehilangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Perhubungan. Berdasarkan hasil Pemeriksaan (Hapsem) BPK RI Semester I 2020 potensi lost PBNP Kemenhub mencapai sebesar Rp121 miliar lebih.
"Soal lost potensi PNBP di Kemehub ini selalu berulang. Seperti temuan BPK RI dalam Hapsem Semester I 2020, masih ditemukan persoalan Track Access Charge (TAC) kereta api yang tidak tertagih sehingga berpotensi kehilangan PNBP sebesar Rp121 miliar lebih. Hal ini sudah berulang terjadi." Kata Sigit.
Dalam Hapsemnya, BPK menemukan kegiatan perawatan prasarana perkeretaapian yang dilaksanakan melalui kontrak dengan pihak selain PT KAI dan bukan merupakan badan usaha penyelenggara perawatan prasarana perkeretaapian, sehingga biaya perawatan prasarana perkeretaapian sebesar Rp162,123 miliar yang dilakukan oleh satker Pengembangan, Peningkatan dan Perawatan Prasarana Perkeretaapian tidak dapat dikenakan biaya penggunaan prasarana(PNBP TAC). Hal tersebut mengakibatkan negara kehilangan potensi PNBP sebesar Rp121,5 miliar (0,75 x Rp162,123 miliar).
Sigit mengatakan persoalan Infrastructure Maintanance Operation (IMO) dan TAC KA sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun dan tidak ada perbaikan. Untuk itu, Sigit meminta Kemenhub membuat timeline yang jelas perhitungan subsidi kereta api, termasuk IMO dan TAC sehingga tidak lagi menjadi temuan BPK setiap tahun.
"Persoalan IMO dan TAC ini sudah berlangsung lama dan menjadi temuan yang berulang. Harus ada langkah konkret dari Pak Menteri agar masalah perhitungan IMO dan TAC ini bisa selesai. Dan Kemenhub kiranya bias membuat timeline yang jelas," kata Sigit.
Dalam kesempatan itu, Sigit juga mempertanyakan penetapan Public Service Obligation (PSO) atau subsidi untuk moda transportasi laut dan udara. Selain anggaranPSO selalu naik meski jumlah penumpang menurun, pembayaran PSO juga mejadi temuan BPK dalam Hapsem Semester I 2020.
"Soal PSO ini perlu penjelasan dari Kemenhub bagaimana perhitungannya. Jumlah penumpang turun signifikan, tapi anggarannya naik terus. Pembayaran subsidi ini juga menjadi temuan BPK karena ada kelebihan pembayaran," kata Sigit.
Dalam Hapsem Sementer I 2020, BPK mendapati temuan kelebihan pembayaran Belanja Subsidi pada Perhubungan Laut senilai Rp7,4 miliar. Dari hasil pemeriksaan BPK, data jumlah penumpang yang mendapatkan subsidi tidak bias ditelusuri kebenarannya. Sementara di perhubungan udara, terdapat kelebihan pembayaran belanja subsidi sehingga berpotensi merugikan negara sebesar Rp9 miliar.(PKS/bh/sya) |