JAKARTA, Berita HUKUM - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sempat mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk memberlakukan karantina wilayah atau lockdown pada Maret 2020 lalu.
Lockdown diperlukan untuk menekan penyebaran virus corona atau Covid-19. Namun, usulan Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan lockdown malah ditolak.
Pemerintah pusat beralasan, lockdown akan berdampak negatif pada perekonomian nasional.
Selain itu, lockdown juga membutuhkan biaya besar karena pemerintah harus menanggung biaya hidup masyarakat.
Hal itu sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dengan pertimbangan itu, pemerintah akhirnya hanya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pada September 2020, Pemprov DKI Jakarta memberlakukan PSBB secara ketat. Kemudian pada Oktober memberlakukan PSBB transisi.
Berdasarkan aturan PSBB, masyarakat yang melanggar protokol kesehatan akan dikenakan denda.
Aturan itulah yang diberlakukan pada Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia didenda Rp50 juta karena melanggar protokol kesehatan saat menggelar pesta pernikahan putrinya, Syarifah Najwa Shihab pada Sabtu (14/11).
Meski sudah didenda, penyidik Polda Metro Jaya tetap mencari unsur pidana kasus pelanggaran protokol kesehatan saat pernikahan anak Habib Rizieq.
Padahal, menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, aparat tidak bisa menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk menjerat pelanggar PSBB.
"Karantina itu berbeda dengan PSBB. Yang dapat dikenai pidana menurut Pasal 93 UU Kekarantinaan hanyalah pelanggaran atas Karantina," jelas Hamdan Zoelva.
Dia mengatakan, tindak pidana atas pelanggaran PSBB, tidak diatur dalam UU kekarantinaan. Pelanggaran tersebut hanya diatur dalam Pergub
Ketua Umum DPP Laznah Tanfidziyah Syarikat Islam ini menjelaskan, pelanggaran PSBB hanya diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) dan tidak diatur dalam UU Kekarantinaan, sehingga pelanggaran PSBB tidak bisa dipidana.
"Tindak pidana atas pelanggaran PSBB, tidak diatur dalam UU kekarantinaan. Pelanggaran tersebut hanya diatur dalam Pergub," kata Hamdan.
"Di Indonesia tidak ada ketetapan karantina kecuali penetapan PSBB. Salah pasal kalau pelanggaran PSBB diancam Pasal 93 UU kekarantinaan," tandas Hamdan.
Sementara itu, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu mengatakan, apapun yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selalu dianggap salah.
"Nasib Anies. Saat ingin lockdown Jakarta engkau dihardik. Saat PSBB ketat engkau dimaki," ungkap Said Didu, Selasa (17/11).
Menurut Said Didu, saat DKI Jakarta dalam status PSBB Transisi, Anies Baswedan pun tetap dianggap salah.
"Saat New Normal dan ada kerumunan tanpa izin, engkau diperiksa polisi. Mungkin namamu sebaikmya diganti menjadi La Salah (apapun salah)," tandas Said Didu.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Politik Rocky Gerung, terkait pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan oleh Polda Metro Jaya terkait kerumunan di acara pernikahan Putri Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Anies sendiri menjalani pemeriksaan selama 9 jam lebih, Selasa (17/11). Selanjutnya polisi juga bakal menjadwalkan pemeriksaan terhadap HRS.
Rocky Gerung menilai tindakan kepolisian itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebab, hal itu justru mengesankan bahwa pihak kepolisian berupaya untuk melayani kepentingan Istana.
"Jadi terlihat bahwa polisi terpaksa memperpanjang pemeriksaan itu karena berupaya untuk melayani kepentingan Istana," kata Rocky Gerung dikutip dari Chanel YouTube miliknya, Rabu (18/11).
Menurut Rocky, Istana berharap agar Anies Baswedan diberi hukuman. Padahal, polisi mengerti hal itu sangat tidak mungkin lantaran sifat undang-undang yang dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum.
Kemudian, Rocky Gerung menyoroti pihak Istana yang dinilainya kalang kabut saat mengurusi sejumlah permasalahan, khususnya terkait Habib Rizieq dan Anies Baswedan.
Hal itu terjadi lantaran menurutnya Pemerintahan Jokowi tidak memiliki kemampuan untuk mengelola informasi publik. "Terlihat bocor terus kemampuan istana mengelola informasi," kata Rocky.
Menurut Rocky Gerung, kemunduran pengelolaan informasi itu terjadi seiring dengan berkurangnya pihak-pihak yang mendukung Pemerintahan Jokowi.
Rocky Gerung menuturkan, saat ini pendukung Istana hanya dua, yakni para buzzer influencer dan komisaris relawan.
"Karena pendukung istana cuma 2. Satu adalah buzzer dan influencer. Dua adalah komisaris relawan yang tidak punya kemampuan analisis. Presiden Jokowi tertipu oleh pembantunya sendiri sehingga muncul blunder," tukas Rocky.(pojoksatu/fajar/bh/sya) |