JAKARTA-Wakapolri Komjen Pol. Nanan Soekarna menyesalkan sikap Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tidak melaporkan keganjilan-keganjilan yang kerap terjadi di pondok pesantren (ponpes) Umar Bin Khattab, Bima. Apalagi ponpes ini pernah disingahi Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Baasyir.
"Memang ponpes tidak bisa diawasi. Tapi perlu diketahui bahwa Abu Bakar Baasyir pernah ke (ponpes Umar Bin Khattab), setelah peristiwa itu ada bom meledak di sana. Kapolda kok tidak melaporkannya. Kalau sudah seperti ini, dia harus bisa pertanggungjawaban," kata Nanan dalam acara diskusi bertajuk "Polisi, Masyarakat Sipil dan Konflik Agama" di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Rabu (27/7).
Namun, lanjut dia, saat menjabat sebagai Kadiv Humas Polri pernah meminta jajaran kepolisian untuk mengawasi aktivitas jamaah Masjid, Gereja dan Pondok Pesantren. Tapi, pimpinan NU sempat memarahinya. Padahal, maksudnya tak lain hanya untuk mengawasi yang merupakan bagian tugas dari Polisi.
“Tugas Polisi adalah mengawasi kegiatan tersebut, sama sekali bukan melarangnya. Kami pun sudah instruksikan, agar anggota Babinkamtibnas (Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Nasional-red) berbaur dengan masyarakat serta mengunjungi tempat ibadah, agar tahu kondisi serta permasalahan yang terjadi. Jadi, jangan salah menilai soal arti pengawasan itu,” jelas mantan Kapolda Sumatera Utara ini.
Menurut Nanan, Polri telah memberikan kewenangan penuh kepada Kapolda, Kapolres dan Kapolsek untuk melakukan tindakan-tindakan penanganan di wilayahnya dengan memperhatikan resiko yang terjadi. Mengenai kejadian di Bima harus menjadi pelajaran bagi Polri dalam pencegahan aksi kekerasan.
Pengawasan itu bisa saja diwujudkan dengan melakukan silaturahmi ke ponpes, ngobrol dengan kyai, dengarkan ceramahnya dan sebagainya. Bila ada yang tidak benar, harus langsung dilaporkan. Jangan sampai ada lagi seperti di Bima. Kami ingin mengawasi, malah dilarang dan akhirnya ada penyerangan Polsek dan bom rakitan meledak. Kalau sudag begini, polisi juga yang susah,” jelas dia.
Dalam kesempatan terpisah, Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Anton Bachrul Alam mengatakan, pihaknya terus memburu tiga orang terkait kasus peledakan bom tersebut. Mereka diduga terlibat tindak pidana terorisme. Hingga kini Polisi mengaku belum mengetahui keberadaan yang bersangkutan. "Tiga orang berinisial A, H, dan M, masih dikejar. Kami sudah tahu prediksi pelariannya. Tinggal posisi mereka ada di mana," ujarnya.
Menurut dia, beberapa waktu lalu, mereka diketahui melarikan diri ke pegunungan sekitar ponpes tersebut. Namun, belum diketahui apakah mereka masih berada di gunung atau sudah turun ke perkampungan penduduk seperti halnya buron teroris di Poso beberapa waktu lalu. “Kami sudah sebar petugas untuk berjaga-jaga di pintu masuk-keluar Pulau Sumbawa,” tandasnya.
Seperti diberitakan, pada Rabu (13/7) Polisi berhasil masuk ke ponpes yang menjadi lokasi meledaknya bom rakitan yang menewaskan salah satu pengurusnya. Diketahui dari lokasi kejadian, Polisi menemukan satu peti Al Quran, satu rompi seragam dan kaos Laskar JAT, puluhan VCD bertema jihad, beberapa barang untuk merakit bom, solder dan korek api. Selain itu, ditemukan pula sembilan bom molotov yang dirakit dalam botol, 30 anak panah, satu senapan angin rakitan, sebilah pedang, sebilah golok, printer dan telepon genggam.
Terkait dengan Baasyir, sebelumnya majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Herri Swantoro memvonis 15 tahun penjara terhadap terdakwa Ba'asyir terbukti dalam dakwaan subsider pasal 14 Junto pasal 7 UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Ba'asyir terbukti merencanakan atau menggerakkan orang lain memberikan dananya untuk kegiatan militer di Aceh. Dana yang terbukti dihimpun Ba’asyir sejumlah Rp 350 juta, dengan rincian Rp 150 juta didapat dari Haryadi Usman, dan Rp 200 juta dari Syarif Usman, serta sebuah handycam dari Abdullah Al Katiri. Uang itu digunakan untuk pelatihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh Besar.(biz/dbs)
|