DENPASAR-Bali dinilai masih lemah dalam melakukan sosialisasi penularan rabies. Kondisi ini yang menyebabkan belum maksimalnya program penanggulangan rabies di Bali.
Koordinator Bidang Komunikasi Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO) Indonesia Ester Hutabarat menyatakan, akibat lemahnya sosialisasi penularan rabies menyebabkan masyarakat Bali masih cendrung meliarkan anjing peliharaannya. Disatu sisi juga muncul kepanikan di masyarakat akibat penularan rabies.
“Kalau dibilang gagal mungkin bukan tetapi yang terjadi di Bali lebih pada mengatasi kepanikan, kepanikan karena banyak kasus meninggal pada manusia,” kata Ester Hutabarat di Denpasar, Bali, Senin (25/7).
Ester Hutabarat mengungkapkan dalam penanggulangan rabies pada manusia juga masih belum maksimal. Buktinya masih banyak pusat kesehatan di tingkat bawah terutama Puskesmas yang petugas kesehatanya belum mengetahui tata cara penanganan korban rabies. Selain itu juga masih sering dijumpai puskesmas yang kehabisan vaksin anti rabies.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan Bali Putu Sumantra mengatakan, dua desa di Bali masuk dalam kategori status rabies pada tingkat sangat aktif. Kedua desa yang masuk dalam kategori status rabies sangat aktif tersebut yaitu Desa Padangsambian Denpasar dan Desa Gianyar di Kabupaten Gianyar. Kedua Desa tersebut dimasukkan dalam kategori status rabies sangat aktif karena setiap bulan selalu ditemukan kasus rabies di desa tersebut.
Hal ini terjadi dimungkinkan akibat terbukanya lalu lintas peredaran anjing di desa-desa tersebut. “Mungkin disana itu ada anjing yang baru dating dari luar, yang kita tidak tahu, apakah anjing itu dibawa atau dia mengembara, kita juga tidak tahu. Yang jelas desa-desa yang sangat aktif itu akan menjadi prioritas bagi kita untuk melakukan pengendalian,” papar Putu Sumantra.
Sumantra menyebutkan disisi lain juga terdapat 22 desa masuk dalam kategori rabies aktif, dimana dalam enam bulan masih ditemukan kasus rabies di 22 desa tersebut. Sumantra menambahkan hingga saat ini tercatat 44 desa di Bali masih ditetapkan sebagai daerah penularan rabies.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Bali menunjukkan dari sekitar 131 jumlah korban meninggal setelah tergigit anjing di Bali sejak November 2008, tercatat sekitar 95 persen diantaranya tidak mendapatkan vaksin anti rabies (VAR). Sisanya meninggal akibat tidak mendapatkan vaksin secara lengkap setelah mengalami gigitan anjing.
Kabid Penanganan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Bali Ketut Subrata menyatakan, secara rata-rata korban tidak mengetahui adanya penularan rabies sehingga tidak memeriksakan dirinya ke pusat-pusat kesehatan. “Satu informasi yang belum dia dapatkan, jadi dia tidak paham kalau digigit anjing harus mendapatkan vaksinasi dan lain sebagainya, yang kedua mereka banyak menganggap ini masih ampah (menyepelekan/acuh). Kenapa ampah, karena ini digigit konyong (anjing) dulu tidak apa-apa,” kata Ketut Subrata.
Subrata menambahkan berdasarkan hasil uji laboratorium dari 131 korban meninggal setelah tergigit anjing di Bali, hanya 54 orang diantaranya dinyatakan positif rabies. Sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Bali saat ini jumlah kasus gigitan di Bali telah menurun mencapai 130 kasus perhari, padahal pada tahun lalu mencapai lebih dari 200 kasus perhari.
Batas Aman
Sebelumnya, Kepala Lab Biomedik FKH Universitas Udayana (Unud) I Gusti Ngurah Mahardika mengatakan, vaksinasi rabies pada HPR khususnya anjing di Bali masih di bawah 50 persen. Penanganan rabies khususnya vaksinasi pada Hewan Penular Rabies (HPR) pada anjing, belum mencapai batas aman 70 persen.
Pemerintah Propinsi Bali mesti merangkul seluruh komponen mulai dari masyarakat, LSM pemerhati hewan, termasuk komponen lain dalam mempercepat membebaskan Bali dari rabies. Paling tidak, kegiatan vaksinasi rabies pada HPR pada anjing di Bali secepatnya bisa mencapai titik aman 70 persen dari jumlah estimasi anjing yang ada.
Dijelaskan, cakupan vaksinasi rabies masih di bawah 50 persen, karena anjing milik masyarakat masih banyak yang diliarkan. Pemerintah tentunya kesulitan untuk memvaksin anjing yang masih diliarkan. Dipaparkan, kebiasaan masyarakat memelihara anjing secara liar sangat sulit diikutsertakan dalam kegiatan vaksinasi, termasuk sulit untuk dieliminasi.
Penyebaran rabies di Bali juga diindikasikan banyak melalui anjing milik masyarakat yang masih diliarkan. ‘'Penyebaran rabies di Bali masih sangat mungkin terjadi, karena masih banyak anjing yang diliarkan oleh masyarakat,'' jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan, penyebaran rabies di Bali seperti rantai terputus. Ini antara lain disebabkan masyarakat masih membawa atau melalulintaskan anjing (HPR) lainnya antarkabupaten/kota di Bali. Meski Bali sudah ditetapkan sebagai kawasan positif rabies. Pemerintah perlu meningkatkan kembali kegiatan sosialisasi, sehingga masyarakat lebih gencar membantu pemerintah menanggulangi rabies di Bali.
Penyadaran masyarakat akan bahaya rabies merupakan tanggung jawab Pemprop Bali bersama pemerintah kabupaten/kota. Mahardika menambahkan, masyarakat saat ini masih kurang berpartisipasi dalam upaya penanganan rabies. Salah satu contoh masih ada anjing peliharaan masyarakat yang belum divaksinasi rabies, karena kurangnya kesadaran atau kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahaya rabies. Sekarang sudah saatnya pemerintah merubah prilaku masyarakat dalam berhubungan dengan anjing, HPR lain dan lingkungannya.(brb/sya)
|