JAKARTA, Berita HUKUM - Kondisi dunia kerja yang tidak ramah untuk penyintas talasemia membuat mereka harus berpikir keras mencari cara untuk bisa berdaya.
Beberapa penyintas talasemia lebih memilih untuk berwirausaha mandiri, membantu usaha keluarga atau bekerja di sektor kesehatan yang lebih faham tentang apa itu talasemia.
Aditya Putra Nasir adalah yang memutuskan untuk melupakan bekerja di sektor formal dan berwiraswasta.
Adit (31), begitu ia biasa disapa, merupakan survivor talasemia sejak usia 3,5 tahun. Saat ini, Adit memiliki sebuah coffee shop.
Berbekal dari ilmu yang ia dapatkan saat menjadi mahasiswa, Adit memutuskan menjadi enterpreneur dan berhasil membuka coffee shop pada 2015 di bilangan Senopati Jakarta Selatan.
"Waktu SMA, cita-cita saya sebenarnya ingin jadi dokter. Berhubung nilai IPA saya tidak cukup untuk masuk IPA, akhirnya saya memutuskan untuk jadi entrepreneur. Kebetulan saya lulusan Enterpreneur-Binus yang waktu itu tahun 2013 membuat tugas realisasi bisnis. Dan saat itu saya memilih bisnis kopi untuk dipelajari dan diimplementasikan. Karena semasa kuliah, saya sering ngerjain tugas atau sekadar nongkrong di coffee shop," terangnya.
Ia menambahkan, "Sampai akhirnya saya berkeinginan untuk membuka coffee shop sendiri. Alhamdulillah, Stomping Grounds coffee pertama saya buka pada 2015 di kawasan Senopati Jakarta Selatan, yang akhirnya tutup usia pada 2018 dan saat ini pindah ke kampus psikologi UI Depok," jelas Adit saat diwawancara melalui aplikasi percakapan WhatsApp.
Sebelum membuka coffee shop, Adit sempat melamar pekerjaan di beberapa perusahaan rintisan.
"Dulu pas lulus kuliah, saya pernah melamar kerja ke beberapa perusahaan start-up. Sudah beberapa kali interview juga sih, namun tidak ada panggilan berikutnya," kata dia.
Adit bersyukur tidak pernah menerima diskriminasi, maupun kekerasan di dunia kerja. Akan tetapi sebagai seorang pengusaha, ia menerima sejumlah pertanyaan tak mengenakkan.
"Alhamdulillah, saya tidak merasa pernah mendapatkan diskriminasi sebagai survivor talasemia. Tapi sebagai seorang pengusaha, kadang saya mendapatkan opini dari pihak lain di saat-saat bekerja. Semisal pertanyaan 'Ini benar-benar bapak owner-nya?, Atau semisal pertanyaan usia' karena fisik saya yang terlihat lebih muda dari usia saya," ungkap Adit.
Sementara Iqbal Andika Putra (24) dia lebih memilih membantu sang Ibu yang memiliki bisnis konveksi jahit dan hantaran pernikahan. Sebelumnya, dia juga pernah bekerja di bidang properti bersama pamannya. Akan tetapi tidak berlangsung lama akibat pandemi COVID-19 pada 2020.
Pria kelahiran Depok, Jawa Barat, ini sudah terdiagnosis mengidap talasemia sejak berumur satu tahun. Iqbal juga pernah mengalami kegagalan seleksi saat melamar pekerjaan. Pihak perusahan tempat dia melamar kerja tidak bisa memberikan waktu yang banyak untuk melakukan perawatan medis rutin.
"Pernah, ngelamar kerja dulu habis lulus. Enggak lolos seleksi dan enggak boleh izin lama buat tranfusi darah rutin. Soalnya aku kan butuh transfusi yang lumayan sering ya. Dua minggu sekali harus nge-charge baterai (tranfusi darah). Itu belum check up-nya. Jadi, ya bisa terhitung 6 kali dalam sebulan kunjungan ke rumah sakit," kata Iqbal saat ditemui di Jakarta, baru-baru ini.
Sebagai penyintas talasemia, Iqbal mengaku tidak pernah mengalami kekerasan maupun pelecehan saat berada di dunia kerja.
Mengingat lingkungan pekerjaan yang saat ini merupakan perusahaan keluarga yang sangat memahi dan memberikan dukungan penuh kepadanya.
Suasana dunia kerja yang harmonis tanpa terjadi kekerasan dan pelecehan juga dialami Marni Suminarsih.
Ia bekerja sebagai asisten penelitian dokter di Divisi hematologi onkologi medik, RSCM Jakarta. Marni menceritakan pengalamannya selama berada di dunia kerja.
Perempuan 26 tahun ini mengaku tidak pernah mengalami tindak diskriminasi maupun pelecehan. Rekan kerja dan perusahaan tempat dia bekerja sangat terbuka dan peduli terhadap talasemia yang ia miliki.
"Alhamdulillah, pengalaman saya bekerja di dua perusahaan, tidak pernah mengalami diskriminasi dan pelecehan. Ya, karena pada perusahaan pertama itu, saya masuk dan bekerja di sana karena channel dari orang tua saya. Jadi, sudah paham dan aware dengan kondisi saya yang mebutuhkan waktu untuk berobat rutin. Sedangkan untuk perusahaan yang kedua adalah rumah sakit, tempat yang sama untuk saya melakukan transfusi darah," jelas Marni di Jakarta.
Namun, tidak semua penyintas talasemia diterima dan dimengerti kondisinya, seperti yang dialami Marni dan Iqbal.
Faktanya, kebanyakan dari mereka sampai saat ini sering menerima perlakuan diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan dalam berbagai bentuk. Tak hanya di dunia kerja.
Para penyintas talasemia berharap tidak dipandang sebelah mata dan dilecehkan karena talasemia, yang mereka sendiri tidak menginginkannya. Sebab, mereka juga bisa berperan dan memiliki kompetensi.
Mereka hanya ingin didukung, dimengerti, dan diberi kesempatan sama di dunia kerja, atau kehidupan sosial, seperti warga negara yang lain, sebelum tutup usia.(bh/na) |