JAKARTA, Berita HUKUM - Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) jaringan Internasional Indonesia-Kamboja. Dua tersangka ditangkap dan sejumlah barang bukti diamankan dari pengungkapan kasus tersebut.
"Ini berawal dari adanya laporan dari Kedubes RI untuk Kamboja di Phon Penh terkait tindak pidana perdagangan orang yang korbannya WNI (warga negara Indonesia)," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jum'at (10/2/2023).
Dijelaskan Djuhandhani, pengungkapan kasus tersebut berawal dari penangkapan 3 tersangka TPPO berinisial SJ, JR dan MN pada akhir 2022 lalu, kemudian dikembangkan. Dari pengembangan diperoleh 2 tersangka berinisial NU dan AN pada akhir Januari 2023 di Jakarta Selatan.
"Kedua tersangka ini memiliki peran lebih tinggi dari 3 tersangka sebelumnya, yakni sebagai perekrut dan membantu proses pengurusan paspor kemudian menyediakan tiket perjalanan. Keduanya juga berhubungan dengan perekrut di negara Kamboja," kata Djuhandhani.
Adapun dalam melakukan kejahatannya, modus kedua tersangka dengan menawarkan atau menjanjikan pekerjaan di luar negeri seperti Kamboja, melalui media sosial ataupun secara langsung.
"Pekerjaan yang dijanjikan sebagai buruh pabrik, costumer service, operator komputer di Kamboja dengan (iming-iming) gaji yang tinggi, namun pada faktanya para korban tidak mendapatkan pekerjaan ataupun janji sesuai yang ditawarkan," beber mantan Direktur Reskrimum Polda Jawa Tengah ini.
Djuhandhani menyebut, jaringan TPPO tersebut telah melakukan aktivitas perekrutan dan pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) secara ilegal sejak 2019 dan pendapatan yang diperoleh sekitar puluhan miliar.
"Dari kejahatan para tersangka, penyidik menyita sejumlah barang bukti, 96 paspor, dua lembar tiket pesawat, print out Kamboja tour new year, surat perjalanan (visa) 2 buah, tangkapan layar bukti transfer dua lembar, print out slip setoran tunai bank satu lembar, print out rekening korban bank 4 lembar," rinci Djuhandhani.
"Akta pendirian PT Pena Bhakti Internasional satu bundel, 2 unit laptop, buku rekening bank satu buah, ponsel 3 buah, cap stempel 27 unit," lanjutnya.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun, denda maksimal Rp 600 juta dan atau Pasal 81 UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara, dan denda paling banyak Rp 15 miliar.(bh/amp) |