JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Tindakan represif polisi dalam membubarkan massa yang menduduki pelabuhan Sape, Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Sabtu (24/12) lalu, bukanlah pengendalian tapi sudah penyerbuan dan pembantaian.
Polisi telah memperlakukan rakyat sebagai musuh yang harus dibasmi. Jika sebelumnya rezim ini dikenal dengan rezim dua muka, yaitu rezim pembohong dan rezim korupsi, kini gelar itu makin lengkap menjadi rezim pembantai.
Demikian mengemuka dalam diskusi rutin yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0 bertajuk “Pencanangan 2012 sebagai Tahun Perubahan” di Jakarta, Selasa (27/12). Dalam rilis yang diterima BeritaHUKUM.com. diskusi menghadirkan Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan Rizal Ramli, pakar hukum tata negara Irman Putrasidin, dan Wakil Ketua Komisi I DPR Mayjen (Purn) Tb Hasanuddin.
“Apa yang dilakukan Brimob di Bima bukanlah pengendalian, tapi sudah penyerbuan yang berujung pada pembantaian. Ada pasukan Brimob dengan senjata terkokang dan menghadap ke atas. Lalu mereka maju dan mengarahkan tembakan ke arah massa setinggi pinggang. Setelah itu, beberapa demonstran ditangkap oleh dua atau lebih polisi dan diseret sambil dipukuli, ditendang, dan dipopor senjata. Ini jelas penyerbuan,” kata anggota DPR RI Tb. Hasanuddin.
Menurut mantan Sekretaris Militer era Presiden Megawati itu, dalam pertempuran saja, tawanan perang hanya boleh diajukan dua pertanyaan. Yaitu pangkat dan nomer register. Tawanan tidak boleh telanjangi. Tapi di televisi, polisi menelanjangi massa yang sudah ditangkap dan disiksa. Ini secara jelas menunjukkan Polisi sudah menempatkan rakyat sebagai musuh.
“Pada kasus Bima, negara justru mengatakan tindakan polisi sudah sesuai dengan prosedur tetap (Protap) dan terukur. Bahkan di Bima Wakapolri menyatakan tindakan polisi sudah sesuai dengan UU. Bayangkan, negara bisa menyatakan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri sudah sesuai dengan Protap dan terukur. Bahkan, atas nama UU, negara boleh membunuh rakyatnya sendiri. Kalau sudah begini, maka terlaknatlah negara ini,” imbuh politisi PDIP tersebut.
Sementara mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli mengatakan, negara kerap tidak hadir, ketika rakyat memerlukan perlindungan. Bahkan, negara cenderung terlalu berpihak kepada pemodal ketika terjadi konflik dengan rakyat. Inilah yang terjadi di Mesuji, Bima, Riau, Kalimantan, dan banyak daerah lain.
“Saat era Presiden Abdurrahman Wahid, polisi dipisahkan dari tentara dengan maksud, agar polisi berwibawa dan dihormati rakyatnya. Di sana polisi hanya menggunakan pentungan, bukan senjata. Tapi apa yang dilakukan Brimob sungguh sangat brutal. Rezim sekarang tidak hanya rezim pembohong dan rezim korup, tetapi juga rezim pembantai," kata Rizal Ramli.
Atas kondisi ini, lanjut dia, dipastika pada 2012 harus terjadi perubahan. Setidaknya ada empat faktor bahwa perubahan. Pertama, krisis ekonomi Eropa akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan suku bunga. Kedua, ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah sudah semakin besar, suasana yang nyaris sama menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada akhir 1997.
Sedangkan ketiga, kenaikan harga pangan yang makin tidak terkendali. Harga beras yang pada 2010 hanya Rp 6.00/kg, kini sudah hampir Rp 9.000/kg. Sementara keempat, gerakan pemuda dan mahasiswa sudah semakin meluas ke daerah-daerah. Pada aksi hari antikorupsi sedunia 9 Desember silam, aksi terjadi di 56 kota seluruh Indonesia.
“Dengan fakta-fakta seperti itu, saya optimistis fajar perubahan akan segera terbit. Pergolakan di banyak daerah adalah isyarat nyata bahwa ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah sudah sangat merata. Tinggal tunggu waktu saja. Kalau ada mempertanyakan konsititusional tidaknya gerakan perubahan itu, nanti saya selenggarakan Pemilu yang dipercepat. Gitu aja kok repot?” selorohnya mengutip pernyataan Gus Dur.(rls/nas)
|