JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan KOI (Komite Olimpiade Indonesia) menyampaikan kerugian konstitusional akibat pecahnya dua organisasi tersebut. Hal itu disampaikan pada sidang pembuktian perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Sistem Keolahragaan Nasional yang digelar Kamis (17/7) di Ruang Sidang Pleno, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Hadir dalam sidang kali ini dua orang saksi yang diajukan Pemohon (KONI), yaitu Prasetiono Sumiskum dan Sadik Algadri. Keduanya mewakili federasi olahraga yang berbeda. Prasetiono merupakan Kabid Binpres Equestrian Federation of Indonesia (EFI). Sedangkan, Sadik merupakan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PB PJSI).
Dalam kesempatan itu, Prasetiono mengatakan EFI mengalami kerugian konstitusional akibat terpisahnya KOI dan KONI. Ia menceritakan pada tahun 2013, tiga hari sebelum keberangkatan tim EFI ke Myanmar untuk mengikuti Sea Games, manajer tim EFI mendapat SK pengantian jabatan dari Satlag Prima KOI.
Kerugian lain terjadi pada tahun ini ketika EFI sedang mempersiapkan diri mengikuti Asean Games Incheon, Korea Selatan. Karena EFI belum menjadi angota KOI, EFI tidak pernah diundang dalam menghadapi Asean Games Incheon. “Pada persiapan Asean Games Incheon tahun ini, karena kami dianggap belum menjadi anggota KOI walaupun kami adalah anggota sah KONI, kami tidak pernah diundang dalam persiapan menghadapi Asean Games Incheon. Jadi keberadaan kami sangat membingungkan dalam hal ini. Padahal kami mendapat SK, baik manajer atlet untuk berangkat menghadapi Asean Games di Incheon. Tapi dalam persiapan keberangkatan yang dilakukan oleh KOI, kami tidak pernah diundang,” ungkap Prasetiono.
Pernyataan senada juga disampaikan Sadik. Pada saat Sea Games Myanmar 2013, Sadik mengatakan tidak didampingi koordinator kontingen KOI ketika delegasi mengajukan protes saat atlet judo yang merasa dirugikan oleh wasit. Karena tidak didampingi, protes delegasi atlet judo Indonesia menjadi tidak efektif. “Ini mengakibatkan dampak psikologis kepada atlet-atlet kami di lapangan yang sedang berjuang. Oleh karena itu, kami sebetulnya yakin apabila terjadi hubungan yang baik di mana koordinator kontingen mendampingi kami dalam saat protes tersebut mungkin hal-hal yang tidak diinginkan bisa kita tanggulangi,” ujar Sadik.
Selain itu, Sadik juga mengungkapkan bahwa PB PJSI tidak dipanggil untuk persiapan dan registrasi Asean Games Incheon 2014. Sadik pun sangat menyesalkan hal tersebut. Sebab, Asean Games merupakan ajang yang lebih tinggi dari Sea Games. Terlebih, Sadik tidak mengetahui alasan KOI tidak mengundang PB PJSI untuk persiapan Asean Games 2014.
“Kami tidak diundang dalam rapat-rapat registrasi yang ada. Ujung-ujungnya ini berdampak negatif terhadap perkembangan olah raga nasional secara keseluruhan apalagi juga terhadap lembaga-lembaga olah raga yang mengurus seperti kami,” sesal Sadik.
Tumpang Tindih
Pada sidang kali ini, Pemohon juga menghadirkan ahli di bidang Manajeman Keolahragaan yaitu Harsuki. Di hadapan pleno hakim, Harsuki menjelaskan sejarah keberadaan KONI dan KOI hingga akhirnya menjadi tumpang tindih dalam kewenangannya.
Istilah Komite Olah Raga Nasional Indonesia untuk pertama kali diperkenalkan oleh musyawarah antara organisasi-organisasi induk cabang olah raga pada tanggal 31 Desember 1966 di Jakarta. Keberadaan KOINI kemudian ditetapkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1967. Kepres tersebut menyatakan KONI sebagai satu-satunya organisasi induk dalam bidang keolahragaan yang melakukan pembinaan gerakan olahraga nasional Indonesia. Namun, pada 1984, Kepres tersebut dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1984.
Kepres yang baru menyatakan KONI sebagai organisasi induk dalam bidang keolahragaan yang mengkoordinasikan kegiatan olahraga amatir di Indonesia. Pada 2001, Kepres No. 43 Tahun 1984 diganti dengan Kepres No. 72 Tahun 2001. Meski masih mengakui KONI sebagai induk organisasi olahraga di Indonesia, Kepres No. 72 Tahun 2001 tersebut menghadirkan KOI secara eksplisit.
Dalam anggaran rumah tangganya, KONI dapat mengelola KOI. Harsuki mengibaratkan KONI dan KOI sebagai dua sisi mata uang. Di dalam AD/ART KONI diatur pula organisasi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ajang kompetisi olahraga, termasuk KOI yang bertanggung jawab dalam kegiatan ajang olahraga di luar negeri. Sama seperti Porda yang bertanggung jawab dalam kegiatan PON (Pekan Olahraga Nasional) di tingkat lokal (dalam negeri).
“Kalau kita mengikuti Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga KONI tahun 1981 sampai 2005 itu tidak akan terjadi hal yang terputus antara internasional sampai kepada nasional dan daerah. Oleh karena, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga KONI ternyata KONI dan KOI tadi menyatu dalam satu keping mata uang tadi. Dari uraian di atas, fungsi KOI seperti tertuang dalam AD/ART KONI tahun 1981 sampai dengan 2005 adalah kondisi ideal bagi pembinaan olahraga nasional, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara fungsi KOI dan KONI,” tukas Harsuki.(Yusti Nurul Agustin/mh/mk/bhc/sya) |