*Sudah saatnya membentuk KPK Watch
JAKARTA-Kasus Nazaruddin merupakan kasus istimewa yang bisa mengungkap perilaku dan korupsi yang sistematis di kalangan petinggi partai dan negara. Karena itu, seluruh rakyat Indonesia perlu waspada dan terus mengawal kasus ini sampai tuntas, agar tidak “masuk angin” sebagaimana kasus-kasus serupa lain sebelumnya.
Demikian kesimpulan diskusi perubahan bertema Rekayasa Kasus Nazaruddin, Antasari, dan Bank Century yang diselenggarakan Rumah Perubahan di Jakarta, Selasa (23/08). Diskusi menghadirkan anggota DPR dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, pengamat politik Boni Hargens, dan Direktur Setara Institute Hendardi.
Seperti rilis yang diterima redaksi BeritaHUKUM.com, Hendardi mengatakan, sudah bisa dipastikan banyak pihak yang berkepentingan dengan kasus Nazaruddin. Mereka adalah petinggi Partai Demorkat, anggota Badan Anggaran DPR, dan petinggi KPK yang namanya disebut-sebut Nazaruddin selama dalam pelariannya terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Untuk itu, segala upaya dilakukan, termasuk menutup isu kasus dengan meniupkan isu-isu baru.
“Kita melihat ada upaya kalangan tertentu untuk mengalihkan kasus Nazaruddin dengan isu-isu lain. Di antaranya, pengalihan tuduhan Nazaruddin pada kasus-kasus korupsi di luar Wisma Atlet di Palembang serta tiba-tiba ditetapkannya Nunun Nurbaiti sebagai tersangka. Jika “nyanyian” bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu sampai benar-benar terbukti di pengadilan, maka nama-nama yang disebut itu pasti akan ikut tergulung,” papar Hendardi.
Korupsi politik
Boni sepakat dengan Hendardi tentang adanya upaya mengalihkan kasus Nazaruddin ke isu lain. Karenanya dia dan kawan-kawan segera membentuk Komisi Nazaruddin. Komisi ini bukan untuk melindungi kesalahan-kesalahan Nazaruddin atau hanya mempersoalkan berapa banyak uang negara yang dirampok. Komisi Nazaruddin dibentuk untuk mengungkap modus dan sistem korupsi politik yang selama ini berlangsung.
“Kalau kita pelajari korupsi di Asia, ada kesamaan modus, yaitu korupsi politik. Para pelaku konvensional korupsi politik melibatkan pengurus dan elit partai serta pengusaha. Dengan demikian, sangat mustahil bila korupsi yang dilakukan Nazarudin tidak melibatkan para elit Partai Demokrat, termasuk Ketua Dewan Pembina,” ungkap Boni.
Sehubungan dengan itu, Boni yang juga aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini meyakini adanya deal khusus seputar bungkamnya Nazaruddin. Hal ini secara tersirat tergambar dalam surat Nazaruddin kepada SBY, yang minta agar istri dan keluarganya tidak diganggu.
Anehnya, lanjut dia, SBY justru cepat membalas surat tersebut. Padahal, tidak satu pun dari 192 surat yang tiap minggu dikirimkan keluarga korban Semanggi kepada SBY dibalas. Ini menyebabkan beredar isu, bahwa SBY pun ingin memperingatkan Nazaruddin, agar dia tidak menganggu istri dan keluarga presiden dalam pengakuanya di pengadilan kelak. Maklum, dalam pelariannya Nazaruddin antara lain menyebut-nyebut nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai salah satu penerima uang korupsi wisma atlet.
Bambang sependapat dengan para pembicara lain tentang perlunya pengawasan khusus terhadap kasus Nazaruddin. Belajar dari beberapa kasus sebelumnya, seperti Bank Century, manipulasi surat MK yang melibatkan petinggi Partai Demokrat Andi Nurpati, dan rekayasa Antasari, KPK seperti gagap dalam menyelesaikannya.
“Tapi saya kurang setuju jika dibentuk suatu komisi khusus untuk mengawal kasus Nazaruddin. Pasalnya, Nazaruddin bukanlah satu-satunya kasus korupsi politik di negeri ini. Nanti akan terlalu banyak komisi lain yang harus dibentuk. Lebih baik kita bentuk semacam KPK Watch untuk mengawasi KPK kinerja dalam menyelesaikan kasus-kasus yang ditanganinya. Semacam Police Wacth pada kepolisian kita,” kata Bambang.
Menurut dia, tidak ada hal yang sulit bagi KPK untuk menuntaskan kasus Nazaruddin. Bahkan kasus ini bisa jadi momentum untuk menggulirkan perubahan yang dikehendaki rakyat. Kita tinggal menyatukan puzzle-puzzel kasus yang ada. Kasus bank Century, manipulasi surat MK yang melibatkan petinggi Partai Demokrat Andi Nurpati, dan rekayasa Antasari sudah lebih dari cukup sebagai alasan menuntut terjadinya perubahan segera. (rls/ans)
|