Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Cyber Crime    
Proxy War
Cengkraman Proxy War Selimuti Konfigurasi Pilres 2019
2019-03-03 06:25:36
 

Hendrajit, Direktur Global Future Institute saat Diskusi Publik di Jakarta, Jumat (1/3).(GFI).(Foto: BH /mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Seiring berjalannya tahun politik pada Pilres di Indonesia tahun 2019 ini, tak lekang dari kepentingan baik pihak dari dalam dan luar negeri. Begitupun menghadapi gonjang ganjing politik dalam situasi ketidakpastian bangsa, tentu tak lepas dari konstelasi global itu sendiri, proxy war.

Proxy war (perang proksi) pada wikipedia adalah perang ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Sementara kekuasaan kadang-kadang digunakan pemerintah sebagai proksi, aktor non-negara kekerasan, dan tentara bayaran, pihak ketiga lainnya yang lebih sering digunakan.

Sementara, Hendrajit, selaku pakar Geopolitik Internasiona mengatakan bahwa, di kalangan masyarakat umumnya wawasan perihal proxy war setidaknya ada sebanyak tiga (3) lapisan kelompok bila ketidaktahuan tersebut, pertama ialah ada yang 'murni tidak tahu', kedua, 'sudah tahu', dan 'ketiga, sangat tahu'.

Golongan 'murni tidak tahu' kategorinya ada yang tidak punya informasi dan tidak punya alternatif keluar dari jalur buntu. Lalu, kelompok yang 'sudah tahu' dalam hal ini namun pura-pura tidak tahu (oportunis), karena kepentingan kelompoknya lebih berat maka pura-pura tidak tahu.

Sedangkan, "kelompok lainnya yang 'sangat tahu' dimana tidak menutup kemungkinan orang dikisarannya Jokowi sendiri bukannya tidak tahu sebenarnya mereka tahu, namun tidak mau tahu," ujar Hendrajit, Jumat (1/3).

Mencermati situasi diatas, Hendrajit berpandangan terkait jelang Pilpres 2019 pada 17 April mendatang, secara konfigurasi Pilpres juga merupakan perang proxy. yang terjadi ialah krisis.

Menceritakan, momen pasca jilid kedua pasca pertemuan Kim Jong Un dengan D.Triumph di Hanoi, ketika nanti hasil bila Amerika mencabut sistem pertahanan antirudal, dalihnya menangkal rudal dari Korut ke Korsel, ujarnya seraya flash back konstelasi global kawasan pasifik beberapa bulan lalu itu antara Korut, AS, dan China.

"Ada radar mampu detect radius jangkauan kisaran 300 km kawasan asia pasifik dan global itu milik Korut. Negeri tirai bambu atau Tiongkok tentu tidak bakal berdiam, maka itulah kembangkan teknologi pesawat tempur menangkal itu semua menggunakan pesawat supersonik hiper," ulas Hendrajit sebagai Direktur Global Future Institute (GFI).

Sementara, kawasan Eropa perjanjian nuklir intermediate itu dicabut, di sisi lain perjanjian IMF pun dibatalkan sepihak oleh Triumph.

Hendrajit katakan bahwa asing merupakan objek daripada kolonisasi itu, maka itulah perang peralihan sedari blok barat atau blok timur.

Miris situasinya, lanjut Hendrajit menceritakan saat situasi mantan panglima Nato, Wesley Clark datang ke Hambalang ketika adakan diskusi 'global issue' di kawasan asia pasifik. "Padahal kalau intelijen bacanya terbalik dimana AS tidak bisa masuk lewat depan" ulasnya.

Soalnya, Hendrajit menambahkan bila menelisik analis intelijen barat meninjau data dan prosesnya lebih cepat dan tidak bisa dibendung. Karena ditinjau dari aksi semenjak 411, 212, dan selanjutnya itu menunjukan kubu Prabowo menang dari pertahanan, bila ditelusur oleh pihak intelijen barat.

"Anehnya saat muncul terkait issue Saracen namun dianggap kelompok radikal Islam, kenapa bisa sampai kesitu?. Padahal memang itu mengarah ke Abu Janda oknumnya," jelas Hendrajit, di sesi Diskusi terbuka bertajuk 'Menghadapi Era Gonjang Ganjing Politik, Ekonomi dan Hukum : Mencari Solusi Elegan dari Situasi Ketidakpastian Bangsa' di bilangan setiabudi yang diselenggarakan oleh Forjis Syndicate, Jumat (1/3).

Kini ada back data, bukan 'prosentase' namun membaca 'gelombang' dan sudah dapat ditinjau dengan caranya sendiri. "Soalnya kalau survei kan tidak, hanya lapisan luar. Sedangkan ini gunakan lapisan dengan caranya tersendiri oleh pihak Intelijen baik CIA, NSA," tutur pengamat global institute itu.

"Di dunia intelijen, ada agen tanam yang mana sudah A1, lalu digelontorkan keluar. Tengok saja itu ketika Jokowi lempar issue propaganda Rusia, dimana tidak sesuai data malahan bersifat 'khayalan'. Jokowi sudah lontarkan itu untuk counter pola propaganda yang dianggapnya mengancam. Hanya saja dari Rain Cooperation, bukannya kelompok Triumph namun dari kelompok republikan," beber Hendrajit.

Kemudian, Hendrajit berpandangan seperi inilah konstelasi bagaimana melihat situasi ini, persoalan mendasar ialah dampak kolonisasi dan Ipoleksosbudhankam.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2