JAKARTA, Berita HUKUM - Untuk menyelesaikan persoalan penyelenggaran ibadah haji dan umrah (PHU), kini Komisi VIII DPR RI sedang menggodok berbagai masalah ibadah haji dan umrah tersebut di Panitia Kerja (Panja). Baik mengenai tata kelola, manejemen, keuangan, tabungan haji, transportasi, pemondokan, katering, pendaftaran calon jamaah haji, dan sebagainya. DPR pun mendukung jika harus dikelola oleh badan atau kementerian khusus haji.
“Komisi VIII DPR RI pasti mendukung usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Persaudaraan Ibadah Haji Indonesia (IPHI) agar pemerintah membentuk badan atau kementerian khusus haji, agar pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji lebih baik dan transparan,” tegas Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Deding Ishak dalam diskusi forum legislasi ‘RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Penyelenggaraan Umrah (PHU)’ bersama Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dan Pengurus MUI KH. Ali Mustofa Ya’qub, dan Wakil Ketua Umum PP IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) H. Anshori di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (11/8).
Menurut politisi Golkar itu, selama ini dalam pelaksanaan ibadah haji ternyata sering bermasalah meski sudah diatur UU No.13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan haji dan umroh, dan UU No.34 tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan haji, peraturan menteri agama (PMA) RI, yang melarang berangkat haji bagi yang orang sudah menunaikan ibadah haji dan lain-lain. Soal daftar tunggu misalnya untuk di Jawa sampai selama 17 tahun, Sulawesi Selatan 30 tahun, Sumatera 27 tahun dan lain-lain.
Selain itu kata Deding, juga mengatur Dana Abadi Umat (DAU) yang mencapai ratusan triliun rupiah bagaimana uang itu kembali kepada umat (deviden), pengelolaan keuangan haji, aspek kelembagaan, tata kelola dan lainnya agar lebih bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Sebab, selama ini Kemenag RI menjadi operator, regulator, dan eksekutor, sehingga cukup berat. “Kalau DPR RI sebagai pengawas melalui jalur kedutaan besar, bukan Kemenag RI,” ujarnya.
Badan haji itu seperti di Turki, bertanggung jawab terhadap tujuh kementerian, dan kuota dibagi kepada semua travel sehingga terjadi persaingan yang sehat. “Di Malaysia pakai tabung haji, tapi antriannya sama sampai puluhan tahun. Bahkan ada yang 80 tahun, selain itu, juga mengenai penggunaan uang haji; rupiah, dollar AS, atau real? silakan pemerintah yang menetapkan. Demikian pula soal transportasi, seharusnya bukan saja Garuda Indonesia dan Saudi Arabian Airline,” tambahnya.
Soal kontrak pemondokan dia berharap pemerintah bisa melakukan minimal selama 5 tahun. “Kontrak kita selama ini memang dilemahkan secara sepihak. Karena itu, dengan semua aturan perundang-undangan itu nanti bisa disenergikan atau dibentuk badan atau kementerian tersendiri, agar pengelolaan penyelenggaraan ibadah haji lebih baik, bertanggung jawab dan hajinya diterima oleh Allah SWT, mabrur,” pungkasnya.
Sementara itu, Ali Mustofa Ya’qub menilai ibadah haji bagi masyarakat Indonesia masih menjadi kebanggaan, sehingga selalu menjadi predikat untuk bisa diketahui secara luas. “Nabi saja satu kali haji dan dua kali umroh. Kalau terus dibanggakan dan merasa hebat kalau sering berhaji, berarti Nabi Muhammadi tidak hebat? Umroh saja pada bulan Ramadhan 1436 H/2015 lalu sampai 8 juta orang, sedangkan 117 juta rakyat masih miskin, apa kita ini tidak dzalim? Belum lagi yang daftar tunggu sampai 30 tahun. Itulah yang harus dibenahi,” katanya.
Menurut Mustafa Ya’qub memang banyak yang harus dibenahi. Termasuk haji badal (pengganti haji), juga harus diatur. Sebab, ada yang protes satu orang bisa mewakili kedua orang tuanya atau lebih, rombongan amirul haj (petugas haji) cukup 5 orang bukan 35 orang. “Ada jamaah yang berangkat melalui Kemenag RI dan Kedubes RI, ketika ada jamaah haji di luar Kemenag RI, bermasalah akan menjadi tanggungjawab siapa? Jangan saling lempar tanggung jawab. Juga, dana abadi umat (DAU) itu milik umat atau negara? semua harus dibenahi,” tuturnya.
Ditempat yang sama Anshori dari IPHI mengingatkan jika harus disinergikan antara UU No.13 tahun 2008, UU No 17 tahun 2008 tentang tabungan haji dan UU No.34 tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan haji dan aturan haji lainnya, karena ada benturan soal keuangan terkait otoritas Menag RI yang sangat tinggi. “Disinilah kalau tidak hati-hati, yang mengharuskan Menag RI berhadapan dengan KPK. Karena itu harus disinergikan. Juga, apakah badan atau kementerian haji, tapi tetap di bawah pemerintah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden,” jelasnya.
Mengapa? Kata Anshori untuk daftar tunggu saja sudah mencapai 2 juta lebih, kalau tidak diatur nanti kantor Kemenag RI menjadi Mina II akibat antrian itu. Karena itu harus dibuat moratorium untuk menghentikan tabungan haji, nanti boleh orang menabung tapi tidak terkait pemberangkatan haji atau Siskohat. Apalagi di Jawa Timur ada orang tua yang sudah mendaftarkan bayinya, agar ketika berusia 33 tahun bisa berangkat haji.
Selain itu, ada dana optimalisasi haji Rp 3 triliun lebih, tabungan masyarakat Rp 100 triliun dari DAU dan sebagainya. “Semua ini harus dibenahi, petugas juga sampai tiga ribuan orang. Di Malaysia petugas pakai seragam petugas bukan pakaian ihram sehingga konsentrasi sebagai petugas. Tapi, di Indonesia pakai baju ihram maka sibuk berhaji. Jadi, perlu dibentuk badan atau kementerian haji agar mengelola haji secara profesional,” pungkasnya.(nt/sc/dpr/bh/sya) |