JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Persidangan terdakwa Nunun Nurbaeti tidak berlangsung hingga tuntas. Pasalnya, majelis hakim yang diketuai Sudjatmiko terpaksa harus menunda sidang hingga Senin (2/4) pecan depan. Hal ini ditetapkan, karena Nunun mengeluh sakit dan tidak dapat melanjutkan pemeriksaan para saksi.
Penundaan sidang ini, atas permintaan seorang kuasa hukum terdakwa Nunun Nurbaeti, Ina Rahman. Menurut dia, kliennya tidak bisa melanjutkan sidang, karena tak kuat berjalan. "Yang Mulia, terdakwa (Nunun Nurbaeti) tidak bisa dihadirkan, karena kondisinya lemas," kata dia kepada hakim ketua Sudjatmiko di Pengadilan Tipikor,Jakarta, Senin (26/3).
Majelis hakim tidak mau percaya begitu saja. Hakim ketua Sudjatmiko meminta dokter dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa Nunun, agar menyampaikan pendapat medisnya. Dr. Johanes Hutabarat pun menjelaskan bahwa terdakwa Nunun sakit, karena tekanan darah tingginya kumat.
“Dia (terdakwa Nunun Nurbaeti-red) muntah hingga dua kali. Saya anjurkan berobat ke dokternya, karena ada riwayat hipertensi. Kalau sidang dilanjutkan, saya khawatir kondisinya akan lebih buruk," jelas Johannes.
Setelah mendengar pendapat medis dari dr. Johannes Hitabarat, akhirnya hakim ketua Sudjatmiko pun menetapkan untuk melanjutkan sidang pada pekan depan. Sedangkan para saksi akan dikembali diperiksa pada sidang mendatang. Penuntut umum pun tak perlu lagi membuat surat panggilan terhadap saksi ini.
Akui 480 Cek Perjalanan
Sementara dalam persidangan ini, saksi Budi Santosa membenarkan pihaknya telah menyiapkan 480 lembar cek perjalanan yang totak bernilai Rp 24 miliar itu,yang mengalir kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Dana itu semula dialokasikan untuk pembelian perkebunan kelapa sawit di Tapanuli Selatan, Sumut.
Menurut Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation Industry (FMPI) ini, penyiapan dana itu atas perrntah Dirut PT FMPI Hidayat Lukman. Pihaknya bekerja sama dengan pengusaha bernama Suhardi alias Ferry Yan untuk membeli 5.000 hektare perkebunan kelapa sawit di Tapanuli Selatan senilai Rp 75 miliar.
“PT First Mujur harus membayar Rp 60 miliar, sedangkan Ferry sebesar Rp 25 miliar. Untuk pembayaran awal Ferry pun menagih 40% dari Rp 60 miliar atau sekitar Rp 24 miliar kepada pihak FMPI. Fery datang ke kantor untuk ambil uang. Pada itu, dia minta uang cash itu diubah menjadi traveller cheque (cek perjalanan). “Dia setuju, lalu saya pesan kepada Bank Artha Graha," jelas Budi.
Bank Artha Graha sendiri, jelas dia, tidak menjual cek pelawat. Akhirnya cek dipesan kepada Bank BII. Namun, pembelian perkebunan kelapa sawit I gagal dan Dirut PT FMPI terpaksa mencicil untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan. Cek ini diterimanya dari pihak Artha Graha pada 8 Juni 2004 dan dalam hari itu juga diserahkan kepada Ferry Yan di kantornya.
Pembagian cek pelawat ini, juga bertepatan dengan waktu pembagian cek kepada politisi Senayan saat fit and proper test Miranda Goeltom sebagai deputi senior gubernur BI. Namun, ketika ditanya mengenai 480 lembar cek itu bias berpindah ke tangan politisi Senayan, Budi hanya mengaku tidak tahu. “Saya tidak tahu," selorohnya.(mic/spr)
|