JAKARTA, Berita HUKUM - Ekspansi sawit di Kalimantan tengah per desember 2012 sudah mencapai 4, 1 juta hektar, dimana 3.825.058 hektar berada di kawasan hutan berdasarkan TGHK, sebanyak 286 perusahaan dan hanya 84 perusahaan yang dinyatakan clear and clean berdasarkan prosedural perijinan.
Perubahan hutan di Kalimantan tengah bukan saja oleh perusahaan sawit melalui perambahan dan alih fungsi parsial, tetapi juga merusak dan menghancam hutan dengan manipulasi dan intervensi review kawasan hutan dalam proses RTRW yang belum selesai hingga sekarang.
Fenomena ini diungkap oleh Arie Rompas, Direktur Walhi Kalimantan Tengah dalam konperensi pers yang digelar WALHI dan Warga korban di Kantor WALHI Nasional, Arie Rompas juga menyoroti soal dominasi penguasaan lahan oleh group group besar perkebunan seperti, Sinar Mas dan WILMAR yang merupakan 2 raksasa group perkebunan kelapa sawit di Indonesia, termasuk di Kalimantan tengah. Wilmar memiliki 17 anak perushaan seluas 288.000 ha, khusus di kabupaten Kotawaringin timur WILMAR memiliki pencadangan lahan seluas 74.611,62 hektar sementara 47.213,04 hektar sudah ditanami. Sedangkan Sinar mas dengan luas hektar 25.111 hektar yang tertanam dan memilki pencadangan 48.226, 23 hektar lahan.
Dua group ini juga tercatat sebagai pelaku perampasan lahan warga, di kabupaten Kotawaringin timur dan Kabupaten Seruyan, seperti yang diungkapkan oleh 4 perwakilan warga yang menjadi korban oleh 4 perusahaan anak group WIlmar dan group Sinar mas, Pak Swester dari Desa pondok damar mengungkapkan bahwa PT. Mustika Sembuluh telah merampas tanah warga sejak tahun 2005 dan pencemaran terhadap sungai sampit yang merupakan sumber penghidupan mereka.
Tidak jauh berbeda dengan Swester, Pak Tasik dari Desa Pantap Kotawaringin Timur juga mengungkapkan bahwa, group Wilmar melalui anak perusahaannya PT. BSK telah merebut tanah warga hingga 1.484 hektar dan memprovikasi warga dengan pamswakarsa perusahaan.
Sedangkan Pak James Watt, dari Desa Bangkal Kabupaten Seruyan menegaskan bahwa kejadian serupa tidak jauh berbeda di kabupaten lain, seperti yang dialami beliau dan rekan rekannya yang terpaksa kehilangan lahan pertanian setelah PT. Agromandiri Perdana, anak group SMART Sinar Mas masuk ke wilayah desa dan merampas paksa tanah warga. Sedangkan Eben dari desa Biru maju mengungkapkan kekecewaanya terhadap Pemerintah, Polisi dan perusahaan, setelah 650 hektar lahan pertanian yang mereka dapatkan melalui penempatan Transmigrasi justru dikuasai oeh group GAR Sinar Mas. Perusahaan bukan saja merampas tanah warga tetapi juga telah melakukan kriminalisasi terhadap warga.
Sedangkan Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besa Walhi Nasional, menyoroti kinerja Kepolisian yang tidak profesional dalam merespon pelangaran hukum dalam sector kehutanan dan perkebunan, sebagai penyebab konflik perkebunan dan kehutanan menjadi berlarut dan marak.
Lebih lanjut menurut Zenzi, polisi cenderung masuk menjadi bagian dari proses pelanggaran hukum dan perampasan lahan, seperti pembiaran aktivitas perusahaan dalam kawasan hutan, melindungi perusahaan dengan mengkriminalisasi petani. Posisi Polisi seperti ini membuat perusahaan perusahaan perkebunan menjadi ketagihan dan berani melakukan pengrusakan hutan, dan dalam konteks konflik justru membuat konflik tidak selesai ketika kepolisian digunakan perusahaan untuk menutupi masalah perdata sebagai dasar masalah, dengan memunculkan kasus kasus pidana terhadap warga, yang tak jarang begitu gambang direkayasa serta cendrung dipaksakan.
Seperti kasus di Biru maju, seharusnya Keolisian Kalimantan Tengah telah melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang telah melakukan perusakan hutan, dan terhadap pemerintah daerah, serta BPN yang menerbitkan perizinan perusahaan diatas lahan transmigrasi masyarakat.
Bondan Andiyanu, dari kepala departemen kampanye Sawit Watch menyatakan bahwa, sistem perkebunan sawit juga mendorong pada upaya monopoli penguasaan lahan dan pasar yang mengakibatkan konflik yang berkepanjangan di perkebunan sawit.(rls/wlh/bhc/sya) |