JAKARTA, Berita HUKUM - Wacana pemerintah Indonesia memberlakukan syarat tes PCR di semua moda transportasi jelang libur natal dan tahun baru mendatang mendapat kritik keras dari anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf.
Bukhori juga mempertanyakan sikap Presiden Jokowi dalam merespons tuntutan publik. Sebab, alih-alih mendengar aspirasi publik untuk menghapus syarat wajib tes PCR, Presiden justru memberi arahan untuk menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp 300 ribu.
"Jika pertimbangan pemerintah murni demi kesehatan dan mitigasi risiko gelombang ketiga, maka tentunya bukan tes usap PCR yang menjadi syarat mutlak untuk perjalanan, melainkan cukup rapid test antigen. Sebab, tujuan dari tes PCR adalah untuk tes konfirmasi Covid-19, sedangkan rapid test antigen adalah untuk screening," ucapnya di Jakarta, Rabu (27/10).
Untuk menjawab tuntutan publik, pemerintah tidak cukup sekadar menetapkan batas harga tertinggi tanpa intervensi langsung melalui kebijakan subsidi. Faktanya, potensi pembengkakan biaya sangat potensial terjadi di pasar kendati pemerintah sudah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
"Sampai saat ini pemerintah belum transparan soal komponen biaya tes PCR yang perlu diketahui publik. Apakah dengan tarif Rp 300 ribu sudah mencakup segala komponen pembiayaan seperti jasa pengambilan sampel, alat tes, hingga alat pelindung diri (APD) bagi nakes terkait? Sebab, biaya lain-lain inilah yang berpotensi disiasati pelaku bisnis agar tetap meraup untung tinggi sehingga menyimpang dari ketentuan pemerintah," jelas anggota Komisi Kebencanaan ini.
"Pada akhirnya seruan untuk menurunkan harga tes PCR tak ubahnya hanya sekadar basa-basi pemerintah yang sama sekali tidak bermanfaat bagi publik," sambung Bukhori.
Lebih lanjut, politikus PKS ini juga mengendus ada indikasi persaingan bisnis di balik kebijakan syarat wajib tes PCR bagi pelaku perjalanan. Hal ini terlihat dari menjamurnya penyedia layanan tes PCR di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis tergantung pada kecepatan hasil tes.
Mereka, bahkan secara nyata melanggar HET yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan sebelumnya, yakni Rp 495 ribu (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp 525 ribu (luar Pulau Jawa dan Bali) dengan dalih PCR Ekspres. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 650 ribu, Rp 750 ribu, Rp 900 ribu, hingga Rp 1,5 juta.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, perputaran uang dari bisnis tes PCR sejak bulan Oktober 2020 sampai Agustus 2021 diperkirakan mencapai Rp 23,2 triliun. Dari nilai tersebut, ICW menyebut pengusaha layanan tes PCR bisa meraih untung hingga Rp 10,46 triliun.
Penghitungan ICW ini didasarkan pada dimulainya pemberlakuan tarif tes PCR tertinggi sebesar Rp 900 ribu pada Oktober 2020 sampai diberlakukannya tarif baru Rp 495-525 ribu pada Agustus 2021.
Di sisi lain, pemerintah sejak Maret 2020 juga telah memberikan insentif fiskal untuk importasi jenis barang berupa alat kesehatan untuk penanganan pandemi. Adapun jenis barang yang terkait dengan mekanisme tes PCR yang memperoleh insentif kepabeanan di antaranya PCR Test Reagent, Swab, Virus Transfer Media, dan In Vitro Diagnostic Equipment.
Untuk PCR test reagent sendiri, total fasilitas pembebasan bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang telah diberikan untuk periode 1 Januari hingga 14 Agustus 2021 sebesar Rp366,76 miliar, yaitu terdiri atas fasilitas fiskal berupa pembebasan BM sebesar Rp107 miliar, PPN tidak dipungut sebesar Rp193 miliar, dan PPh Pasal 22 dibebaskan dari pungutan sebesar Rp66 miliar.
Sedangkan, realisasi pemberian fasilitas periode tahun 2021 sampai dengan bulan Juli, total nilai insentif fiskal yang telah diberikan sebesar Rp799 miliar dari nilai impor barang sebesar Rp4 triliun.
"Bisnis tes PCR ini terbukti sangat menggiurkan. Pasarnya selalu ada selama pandemi dan pengadaan impor barangnya didukung oleh insentif pemerintah. Data menunjukan, kelompok korporasi nonpemerintah memegang 77,16 persen aktivitas importasi alat kesehatan untuk penanganan pandemi di Tanah Air. Sedangkan, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan untuk penanganan Covid-19," terangnya.
Dengan demikian, Bukhori melanjutkan, patut diduga kebijakan tes PCR ini merupakan akal bulus kaum pemodal yang memanfaatkan relasi kuasanya dengan petinggi di pemerintahan untuk menjadikan rakyat sebagai sapi perah mereka.
Legislator asal dapil Jawa Tengah 1 ini mendesak pemerintah segera membatalkan rencana tes PCR sebagai syarat wajib menggunakan semua moda transportasi maupun syarat wajib bagi moda transportasi pesawat sebagaimana yang sudah diberlakukan saat ini.
Dirinya mengusulkan supaya kebijakan mobilitas dikembalikan seperti sedia kala, yaitu cukup menggunakan rapid tes antigen atau menetapkan tarif tertinggi tes PCR yakni Rp 100.000 melalui skema subsidi.
"Pun jika ingin diperketat, syarat vaksin dosis pertama sebenarnya sudah cukup memadai atau kapasitas okupansi pesawat yang dikembalikan menjadi 50 persen. Apalagi untuk moda transportasi udara, tingkat penularan virusnya relatif rendah," ujarnya.
Dalam sebuah laporan yang dimuat di The New England Journal of Medicine menyebut tingkat penularan virus di pesawat hanya 1,8 persen. Rendahnya tingkat infeksi virus di pesawat salah satunya dikarenakan faktor sistem filtrasi udara HEPA (High Efficiency Particulate Air) yang disuplai di dalam kabin bertekanan selama penerbangan.
"Jangan peras rakyat dengan dalih risiko gelombang ketiga di kala pemerintah punya sejumlah alternatif untuk memitigasi risiko ini tanpa memberatkan rakyat. Oleh karena itu pemerintah mesti segera membatalkan syarat tes PCR ini karena sarat dengan kepentingan bisnis dan diskriminatif," pungkasnya.(RMOL/bh/sya) |