JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Indikasi penolakan DPR terhadap usulan pemerintah untuk memberikan kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat miskin, makin kuat. Program BLT ini dianggap tidak fair secara politik.
"Pastinya akan banyak fraksi yang menolak usulan BLT itu. Program itu akan dijadikan instrumen politik partai penguasa untuk meningkatkan popularitasnya yang anjlok. BLT juga bisa jadi sebagai alat kekuasaan politik," kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3).
Menurut dia, belajar dari pengalaman terdahulu dalam pelaksanaannya, program BLT selalu bermasalah lantaran tidak terbagi merata. Bahkan, mengundang bahaya, karena menelan korban jiwa sejumlah pengantre saat akan mengambil uang dari program itu. "Subsidi menjadi bengkak itu kesadaran bersama. Tapi kalau kompensasinya seperti yang dulu tentu menjadi tidak adil," papar dia.
Politisi PDIP ini mengimbau, sisa anggaran itu tidak diperuntukan BLT. Dana tersebut sebaiknya untuk pembangunan desa. Alasannya, jika melihat usulan APBN-P 2012, tidak ada hal baru. Mestinya kompensasi langsung tidak dibagi-bagi seperti itu. “Kalau dana itu dibagi untuk pembangunan desa akan lebih bermanfaat bagi masyarakat,” tandas Pramono.
Seperti diberitakan, pemerintah berencana menaikkan harga BBM per 1 April mendatang. Keputusan menaikkan harga BBM itu dimasukkan dalam RAPBN-P 2012 yang diajukan ke DPR. Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini, pemerintah berencana memberikan BLT selama sembilan bulan dengan nilai Rp 150 ribu per bulannya.(gnc/rob)
|