JAKARTA, Berita HUKUM - Diskusi bertema 'Hasrat Politik Versus Syahwat Politik' digelar di Restoran Bumbu Desa, lantai 2, Cikini Jakarta, Rabu (13/2) yang diadakan oleh Segitiga Institute mengungkapkan dari hari ke hari kita dihadapkan pada sebuah fenomena dimana bahasa dalam politik kehilangan banyak makna.
Disaat yang bersamaan ada upaya serta kehendak menyelundupkan produk orde baru dalam demokrasi kita. Seolah ada yang hilang dalam politik otentik yang selalu kita takwilkan dalam bernegara, lantas secara kejam digantikan dengan praktek politik yang illegal.
Keterlepasan integritas politik dalam keseharian kita, juga menjadi sumbangan atas ambruknya kepentingan rakyat dalam bernegara.
Kita ingin republik ini adalah sebuah perwujudan antara pertunangan kepentingan rakyat dan kekuasaan Negara, atas dasar seperti itu sejatinya kita mendorong Negara berkomitmen penuh untuk melunasi segala kebutuhan rakyat atas nama republik bukan atas nama kepentingan elit politik semata.
Secara sederhana kita bisa memahami prosesi bernegara dengan analogi yang paling elementer dalam keseharian kita, yaitu hubungan seksual antara 2 subjek untuk menuju sebuah titik kebahagiaan. Maka tematik perdiskusian 'Hasrat Politik VS Syahwat Politik' adalah upaya untuk mengkontekstualisasi adanya relasi aktivitas politik dengan terminologi seks dalam definisi seks hari ini relatif menjadi isu tabu dalam perdiskusian ruang publik.
Padahal dalam proses kemenjadian seks itu sendiri memiliki nilai kejujuran dan etika, meskipun kita tidak menutup mata terjadi paksaan serta komersialisasi seks. Maka kita sematkan definisi hasrat pada penjabaran yang pertama, dimana hasrat dipahami sebagai sebuah yang natural dan kejujuran berbalut etika.
Dimana hasrat politik juga menginginkan integritas dalam berpolitik, dan berupaya mentransformasi dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan syahwat diartikan sebuah nafsu serampangan, sehingga bentuk-bentuk koersif (paksaan) memiliki peluang untuk eksis dalam kemenjadiannya. Dimana hal itu hanya bicara soal memuaskan semata, seperti halnya pria hidung belang yang membanalisasi syahwat vitalitalnya ke rumah bordil.
Kemudian kita kembali merenung apakah rakyat akan selalu dijadikan alat pemuas? Atas dikotomi itu maka muncul kesadaran kritis kaum muda Indonesia untuk kembali merefleksikan situasi politik yang hari-hari ini menjadi 'pepesan kosong' dalam bernegara. Disisi lain juga ada keinginan kita, hendak membentengi demokrasi yang sedang menjadi perdagangan politik atas nama kekuasaan semata. Demikian pemaparan Abi Rekso Panggalih.
Sementara itu Andi Yetriyani dari Komnas Perempuan yang sebelumnya menjelaskan bahwa Komnas Perempuan adalah lembaga yang berdiri sendiri.
"Komisi Nasional Perempuan, adalah lembaga produk reformasi, berdiri di era Presiden Habibie," kata Andi.
Pada kesempatan tersebut diantara apa yang disampaikan Andi Yetriyani sebagai pembicara mengungkapkan mengenai kasus perkosaan yang pernah terjadi ditahun 1998.
"Dalam proses politik perempuan memang menjadi ajang eksploitasi. Bahkan semasa transisi kasus-kasus perkosaan yang terjadi tahun 1998 sampai sekarang tidak pernah tuntas," ucapnya.
"Tim pencari fakta ada sudah dibentuk, 13 lembaga, diantaranya TNI, Polri, Kejaksaan. Banyak korban perkosaan yang tidak mau lagi berurusan, korban tidak percaya. Dan ditengah komunitas tionghoa, itu adalah aib, (apabila menceritakan) sama saja membuka aib," ujar Andi.
Sampai sekarang pun perempuan tak lepas dari berbagai kepentingan politik. "Mungkin karena persoalan ekonomi dan hal lainnya. Namun di tengah kekisruhan, jumlah perempuan di parlemen meningkat, ini kemenangan yang harus dirawat bersama," imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut Eduard Depari Konsultan Komunikasi dan juga dosen ini mengungkapkan bagaimana wanita dijadikan komoditas politik, namun mudah dilupakan.
"Kasus-kasus yang menimpa, cukup banyak. Disamping itu wanita di parlemen semoga bisa benar-benar berperan dan bukan sekedar memenuhi quota," kata Eduard.(bhc/mdb) |